Ia seorang pemuda yang berpendidikan sampai tingkat SMP, apakah itu
penting? Tidak. Dulu ia pernah sekolah sampai tingkat atas, namun ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolah saat kelas dua. Sejak saat itu ia tidak tahu
akan melakukan apa. Kedua orangtuanya merestui keputusannya untuk tidak
melanjutkan sekolah, namun ada kekecewaan diwajah ibunya. Ibu pun bertanya apa
yang akan kamu lakukan jika kamu tidak sekolah, ia menjawabnya dengan
kebingungan, “aku tidak tahu Bu, apa yang akan aku lakukan, yang pasti aku akan
bekerja.”
Sejak ia berhenti sekolah ia
mengisi harihari dengan bermain gitar di dalam rumah. Bapak berkata saat ia
sedang membaca sebuah buku lagu. “Kalau kamu tidak mau melanjutkan sekolah,
nanti kalau bos bapak jadi membuka usaha bengkel, kamu mau kan bekerja di sana,
hitunghitung sambil belajar, jika kamu tekuni kan kamu bisa membuka bengkel
sendiri suatu saat nanti.” Sambil membuka-buka buku lagu, Aku mengiyakan apa perintah bapak, dan dengan
senang hati untuk bekerja sambil belajar di bengkel nanti. “Besok ikut Bapak
ambil pasir.” Katanya tiba-tiba. Aku agak kaget dengan ajakan yang tiba-tiba
karena takut membuatnya marah, aku pun meng-iya-kannya.
Sejak saat itu setiap hari ia
selalu diajak bapak untuk menemaninya mengangkut pasir dari lereng Gunung
Merapi. Katanya agar aku tahu susah senangnya orang bekerja cari hidup di jalan
sebagai sopir. Ya, Bapakku seorang sopir truk, setiap harinya ia selalu
mengambil pasir dan dikirim sesuai pesanan.
“kamu mau gak punya uang?” tanya
bapak “kalau mau nanti kamu yang nurunin pasir.” Tanyanya sambil menatap ke
arahku. “Iya Pak, nanti saya yang bongkar.” Segera kualihkan wajahku ke jendela berpura-pura menikmati pemandangan
perjalanan menuju pulang agar bapak tidak melihat keengganan yang terlihat
diwajahku. “Gila, mana kuat aku menurunkan sebegitu banyaknya pasir, bisa
pingsan nanti.” Gumamku dalam hati.
Sekali mengangkut pasir, truk bapak bermuatan delapan
kubik. Pertama kali membongkar pasir, aku hampir pingsan sebab mataku sudah
berkunang-kunang, pandanganku mengabur dan kedinginan karena diterpa semilirnya
angin. Aku melepas pakaianku saat menurunkan pasir dari bak truck sebab kaos
yang kukenakan basah oleh keringat yang bercucuran. Karena gengsi dan malu
dengan tubuhku yang tinggi dan besar, aku menguat-nguatkan badanku agar aku
tidak jatuh pingsan. Sambil terengah-engah dengan mata yang berkunang-kunang,
aku duduk sambil menikmati teh hangat yang disuguhkan si pembeli pasir. “akhirnya selesai juga” kataku dalam hati
sambil mengambil nafas dalam-dalam. Sejak saat itu aku menjadi tukang bongkar
pasir dengan upah 25ribu rupiah sekali bongkar, “ini lebih baik daripada kerja
di bengkel.” gumamku dalam hati sambil tersenyum saat menerima upah hasil
bongkar pasir.
Hidup itu sangat menyebalkan jika
mengalami sebuah permasalahan, seperti malam itu sekitar pukul sepuluh, truk
mengalami kerusakan cukup parah di tengah perjalanan, gigi presnelengnya tidak
mau dioper, begitu kata bapak. Aku melihat kanan kiri dan lurus ke depan dan
belakang, sesekali truk dan sepeda motor melintas, “Kenapa Dhe?” tanya
sopir-sopir yang melewati truk kami, “Presnelengnya rusak.” Jawab Bapak di
tengah kegelapan. “Sepertinya sedang mati lampu di daerah sini,” gumamku dalam
hati sambil mengamati sekelilingku.
Malam itu aku disuruh pulang
untuk memberi kabar kepada bos-nya bapak kalau truknya rusak, tanpa diberi uang
saku. Dengan perut lapar dan kebingungan, aku mencegat truk di lampu merah
dekat Kantor Polisi dan pabrik gula setelah turun dari truk yang dicegat bapak
di lokasi rusaknya truk. Pukul
enam pagi aku sampai rumah setelah memberitahu bos-nya bapak kalau truknya
rusak. Badanku capek sebab sejak semalam aku mencari tumpangan dari truk satu
ke truk lainnya dengan perut lapar.
Terkadang saat truk yang disopir
bapak diservis kecilkecilan aku selalu diajak, mungkin ini salah satu cara agar
aku berinteraksi dengan calon montir bengkel nanti agar tidak ada kecanggungan
saat bekerja di bengkel. Si montir orangnya sangat ramah dengan senyumannya
yang manis namun terlihat aneh karena dagunya yang sedikit agak panjang,
keramahan khas orang jawa yang penuh dengan basabasi.
Sebelum si montir dibukakan sebuah bengkel oleh bos-nya
bapak, ia sudah lama bekerja di sebuah bengkel yang terletak dipinggiran Kota
Karangnyar. “Masa kita harus memburuh terus sampai tua, enggak kan?” tanyanya
saat aku dan dia sedang merenovasi bangunan yang nantinya akan dijadikan
bengkel. “mumpung ada yang memodali untuk membuka bengkel, aku iya-kan saja
keinginannya dengan berbagai persyaratan.” Dia seorang montir yang sudah
terkenal hasil servisnya, ia sering mendapat panggilan diluar jam kerja bengkel
dan ia sudah mempunyai banyak pelanggan, karena itulah dia dengan senang hati
menyambut keinginan bos-nya bapak untuk dibukakan
sebuah bengkel.
Hari kamis malam, tanggal dan
bulan yang aku tidak ingat pada tahun 2004, kami mengadakan syukuran di bengkel
dengan sederhana. Beberapa anak buah bos-nya bapak dan aku datang saat syukuran,
mereka semua, satu sama lain saling berbicara, sementara aku hanya mendengarkan
dan ikut tersenyum jika orang-orang yang kuperhatikan sedang tertawa. Aku
merasa aneh dalam suasana seperti itu. Menjelang malam para tamu satu persatu
pulang, hanya beberapa yang masih tinggal di bengkel untuk tirakatan.
Hampir tiga tahun, ia bekerja di
bengkel, yang setiap hari selalu berjalan dilingkaran yang sama, yang hanya bisa membuatnya memandang
cakrawala dari layar kaca, kehidupan seperti ini memuakkan. Setiap pagi, ia
berangkat ke bengkel, setiap pagi itu pula ia berpapasan dengan wajahwajah
tetanggaku yang itu saja yang sedang santai di depan rumah. Setiap pagi pula
aku menyapa mereka dengan sapaan yang sama, ya biar dikira orang yang sopan
walau setiap hari harus menyapada denga sapaan yang sama, sebuah etika yang memuakkan. “Monggo Dhe” sapaku
pada setiap orang yang kukenal, dan mereka pun menjawab sama seperti yang
lainnya dan apa yang aku lakukan itu, sering kulakukan setiap pagi, apa engkau
tidak bosan dengan hal seperti itu?
Bengkel tempatku bekerja
mempunyai tiga pekerja, si montir, aku dan seorang teman yang tak lain temannya
si montir dari bengkel yang lama. Bengkel tidak pernah sepi dari kendaraankendaraan
roda empat yang rusak, saat musim panen tebu-lah banyak sekali truk yang
mengantri untuk diservis, sebab saat musim tebu banyak sekali truk yang berumur
tua dioperasikan kembali. “truk tua begini kalau dipakai untuk mengambil pasir
sudah tidak kuat, medanya terlalu berat.” Kata seorang sopir saat aku bertanya
kenapa truknya ini jarang dipakai.
Aku bekerja sejak pukul sembilan,
sampai selesainya semua truk yang harus diservis, larut malam terlalu
sering, terkadang mengerjakan truk harus
sampai pagi. Terkadang ada juga truk yang harus diinapkan di bengkel karena tidak memungkinkan akan selesai malam
itu juga, pula kami pun kelelahan.
Dengan jam kerja yang seperti itu
selama tiga tahun, aku mulai berpikir ulang. “Ya, di sini aku memang belajar
namun kenapa upahku tidak layak dengan jam kerja yang begitu banyaknya, 12 jam
itu pun minimal” gumamku dalam hati suatu malam saat aku hendak tidur. Satu
Minggu sekali aku mendapat upah sebesar Rp 40ribu sampai Rp 70 ribu. Upah yang
tidak seberapa itu tidak menjadi masalah buatku sebab niatku dibengkel itu
adalah belajar, terkadang aku juga mendapat orderan di luar jam kerja, biasanya
setiap bengkel libur di hari Jumat, untuk menservis truk di rumah si empunya.
Untuk menambah penghasilan saat disuruh membeli onderdil aku meminta harga
dinaikan lima ribu, awalnya aku mempunyai ketakutan jika ketahuan teman
bengkelku namun setelah mengetahui bahwa mencari untuk dari harga onderdil
sudah menjadi hal yang wajar. Ini bukan suatu aib namun memang begitulah. Saat
aku pulang dari membeli onderdil si montir dengan tiba-tiba bertanya, “kamu
dapat potongan berapa?” aku pun kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba dan
aku menjawabnya seperti apa adanya, “aku mendapat potongan Rp 50ribu, ini
uangnya” sambil kusodorkan uang itu kepadanya, namun si montir pun tersenyum
dan aku mulai kebingungan, “tidak apa-apa itu memang buatmu, aku pun juga
begitu bahkan kadang aku minta untuk harganya dinaikan.” Aku mengantongi uang
Rp 50ribu, sambil bertanya tanya dalam hati, “apakah ini suatu penghinaan?
Apakah dia memang seperti itu?” seorang temanku tibatiba berkata, “Iya, waktu
di bengkel yang lama, kami juga seperti itu, jadi gak usah malu kalau bisa
bagi-bagi” ia pun tertawa.
Hari-hari yang kulalui seperti
biasa, pagi berangkat ke bengkel, malamnya pulang lalu nongkrong bersama
teman-teman. Sampai pada suatu hari saat hendak berangkat ke bengkel aku baru
menyadari kalau pakaian yang aku miliki habis karena kupakai untuk bekerja di
bengkel. “Duh, bagaimana ini, upahku pun tak cukup untuk membeli sepotong
celana.” Keluhku saat aku hendak berangkat ke bengkel.
Aku tidak lagi memikirkan
pakaianku habis, seberapa aku bekerja keras di bengkel, upahku tidak lagi cukup
untuk membeli pakaian. Teman-temanku banyak yang meledek saat kami sedang
nongkrong malam hari sambil becanda, “Lu gak pernah ganti baju apa, itu mulu
tiap hari yang lu pakai.” Sambil mereka tertawa. Aku mengelak dengan meyakinkan
pada mereka kalau aku mempunyai baju dan celana yang kupakai lebih dari satu,
namun mereka tetap saja tidak percaya.
Apakah ada sebuah keberuntungan?
Jika tidak, apakah yang aku alami ini. pada suatu hari saat aku diminta untuk
membeli onderdil, dalam perjalanan aku melihat sebungkus rokok yang jatuh dari
pengendara yang berlawanan arah denganku di susul dengan jatuhnya beberapa
kertas yang berwarna merah, aku meyakinkan diri bahwa yang jatuh itu adalah
uang, dengan cepat aku mengendarai sepeda motor agar bisa mengambilnya,
sementara si pengendara tidak menyadari kalau uangnya jatuh sebab ia mengendarai
sepeda motornya dengan cepat. Beberapa lembar uangnya jatuh di pinggiran sawah.
Aku menepi lalu mengambil uangnya dengan terburu-buru dan mendapatkan dua
lembar uang seratus ribu, aku segera bergeas menghilangkan jejak dengan
mengendarai sepeda motor masuk ke gang-gang kecil rumah-rumah penduduk takut
kalau dia menyadari uangnya yang jatuh dan kembali untuk mengambilnya.
Sesampainya di bengkel aku
bercerita kepada teman kerjaku kalau aku mendapatkan uang yang jatuh dari
seorang pengendara sepeda motor. “seneng dong lu dapat duit banyak” komentar
temanku, aku tersenyum menghinakan, senyum seorang yang mendapatkan kemenangan.
Malam harinya aku meminta salah
seorang tetanggaku untuk mengantarku ke distro di kota Karanganyar untuk
membeli beberapa potong pakaian dari uang yang kutemukan tadi siang.
Sejak kejadian itu aku selalu
berharap kejadian itu selalu terulang, hari dan bulan terus berganti namun aku
tidak lagi mengalami kejadian serupa. Pakaianpakaian pun tinggal beberapa
potong. Aku mempertahankannya agar tidak kupakai untuk bekerja, aku tidak mampu
lagi membeli pakaian.
Selama tiga tahun bekerja ia
tidak pernah mendapatkan kenaikan gaji, ia mulai membolos kerja dari satu hari
dalam satu minggu sampai satu minggu tidak pernah masuk dengan alasan sakit. ia
berbohong, sebenarnya ia baik-baik saja. ia memutuskan untuk tidak lagi masuk
kerja untuk selamanya tanpa memberi tahu kalau keluar dari bengkel, ia merasa
kalau hidupnya dieksploitasi untuk bekerja dengan upah yang sangat sedikit.
“Apa yang akan kamu lakukan jika
kamu tidak bekerja di bengkel?” tanya Ibunya saat ia mengatakan kalau ia telah
berhenti bekerja. ia menjawabnya dengan
kebingungan, “aku tidak tahu Bu, apa yang akan aku lakukan, yang pasti aku akan
bekerja lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar