Sabtu, 07 September 2013

Bengkel


Ia seorang pemuda yang  berpendidikan sampai tingkat SMP, apakah itu penting? Tidak. Dulu ia pernah sekolah sampai tingkat atas, namun ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah saat kelas dua. Sejak saat itu ia tidak tahu akan melakukan apa. Kedua orangtuanya merestui keputusannya untuk tidak melanjutkan sekolah, namun ada kekecewaan diwajah ibunya. Ibu pun bertanya apa yang akan kamu lakukan jika kamu tidak sekolah, ia menjawabnya dengan kebingungan, “aku tidak tahu Bu, apa yang akan aku lakukan, yang pasti aku akan bekerja.”


Sejak ia berhenti sekolah ia mengisi harihari dengan bermain gitar di dalam rumah. Bapak berkata saat ia sedang membaca sebuah buku lagu. “Kalau kamu tidak mau melanjutkan sekolah, nanti kalau bos bapak jadi membuka usaha bengkel, kamu mau kan bekerja di sana, hitunghitung sambil belajar, jika kamu tekuni kan kamu bisa membuka bengkel sendiri suatu saat nanti.” Sambil membuka-buka buku lagu,  Aku mengiyakan apa perintah bapak, dan dengan senang hati untuk bekerja sambil belajar di bengkel nanti. “Besok ikut Bapak ambil pasir.” Katanya tiba-tiba. Aku agak kaget dengan ajakan yang tiba-tiba karena takut membuatnya marah, aku pun meng-iya-kannya.

Sejak saat itu setiap hari ia selalu diajak bapak untuk menemaninya mengangkut pasir dari lereng Gunung Merapi. Katanya agar aku tahu susah senangnya orang bekerja cari hidup di jalan sebagai sopir. Ya, Bapakku seorang sopir truk, setiap harinya ia selalu mengambil pasir dan dikirim sesuai pesanan.

“kamu mau gak punya uang?” tanya bapak “kalau mau nanti kamu yang nurunin pasir.” Tanyanya sambil menatap ke arahku. “Iya Pak, nanti saya yang bongkar.” Segera kualihkan wajahku  ke jendela berpura-pura menikmati pemandangan perjalanan menuju pulang agar bapak tidak melihat keengganan yang terlihat diwajahku. “Gila, mana kuat aku menurunkan sebegitu banyaknya pasir, bisa pingsan nanti.” Gumamku dalam hati. 

 Sekali mengangkut pasir, truk bapak bermuatan delapan kubik. Pertama kali membongkar pasir, aku hampir pingsan sebab mataku sudah berkunang-kunang, pandanganku mengabur dan kedinginan karena diterpa semilirnya angin. Aku melepas pakaianku saat menurunkan pasir dari bak truck sebab kaos yang kukenakan basah oleh keringat yang bercucuran. Karena gengsi dan malu dengan tubuhku yang tinggi dan besar, aku menguat-nguatkan badanku agar aku tidak jatuh pingsan. Sambil terengah-engah dengan mata yang berkunang-kunang, aku duduk sambil menikmati teh hangat yang disuguhkan si pembeli pasir.  “akhirnya selesai juga” kataku dalam hati sambil mengambil nafas dalam-dalam. Sejak saat itu aku menjadi tukang bongkar pasir dengan upah 25ribu rupiah sekali bongkar, “ini lebih baik daripada kerja di bengkel.” gumamku dalam hati sambil tersenyum saat menerima upah hasil bongkar pasir.

Hidup itu sangat menyebalkan jika mengalami sebuah permasalahan, seperti malam itu sekitar pukul sepuluh, truk mengalami kerusakan cukup parah di tengah perjalanan, gigi presnelengnya tidak mau dioper, begitu kata bapak. Aku melihat kanan kiri dan lurus ke depan dan belakang, sesekali truk dan sepeda motor melintas, “Kenapa Dhe?” tanya sopir-sopir yang melewati truk kami, “Presnelengnya rusak.” Jawab Bapak di tengah kegelapan. “Sepertinya sedang mati lampu di daerah sini,” gumamku dalam hati sambil mengamati sekelilingku.

Malam itu aku disuruh pulang untuk memberi kabar kepada bos-nya bapak kalau truknya rusak, tanpa diberi uang saku. Dengan perut lapar dan kebingungan, aku mencegat truk di lampu merah dekat Kantor Polisi dan pabrik gula setelah turun dari truk yang dicegat bapak di lokasi rusaknya truk. Pukul enam pagi aku sampai rumah setelah memberitahu bos-nya bapak kalau truknya rusak. Badanku capek sebab sejak semalam aku mencari tumpangan dari truk satu ke truk lainnya dengan perut lapar.  

Terkadang saat truk yang disopir bapak diservis kecilkecilan aku selalu diajak, mungkin ini salah satu cara agar aku berinteraksi dengan calon montir bengkel nanti agar tidak ada kecanggungan saat bekerja di bengkel. Si montir orangnya sangat ramah dengan senyumannya yang manis namun terlihat aneh karena dagunya yang sedikit agak panjang, keramahan khas orang jawa yang penuh dengan basabasi.

Sebelum si montir dibukakan sebuah bengkel oleh bos-nya bapak, ia sudah lama bekerja di sebuah bengkel yang terletak dipinggiran Kota Karangnyar. “Masa kita harus memburuh terus sampai tua, enggak kan?” tanyanya saat aku dan dia sedang merenovasi bangunan yang nantinya akan dijadikan bengkel. “mumpung ada yang memodali untuk membuka bengkel, aku iya-kan saja keinginannya dengan berbagai persyaratan.” Dia seorang montir yang sudah terkenal hasil servisnya, ia sering mendapat panggilan diluar jam kerja bengkel dan ia sudah mempunyai banyak pelanggan, karena itulah dia dengan senang hati menyambut keinginan bos-nya bapak untuk dibukakan sebuah bengkel.

Hari kamis malam, tanggal dan bulan yang aku tidak ingat pada tahun 2004, kami mengadakan syukuran di bengkel dengan sederhana. Beberapa anak buah bos-nya bapak dan aku datang saat syukuran, mereka semua, satu sama lain saling berbicara, sementara aku hanya mendengarkan dan ikut tersenyum jika orang-orang yang kuperhatikan sedang tertawa. Aku merasa aneh dalam suasana seperti itu. Menjelang malam para tamu satu persatu pulang, hanya beberapa yang masih tinggal di bengkel untuk tirakatan.

Hampir tiga tahun, ia bekerja di bengkel, yang setiap hari selalu berjalan dilingkaran yang  sama, yang hanya bisa membuatnya memandang cakrawala dari layar kaca, kehidupan seperti ini memuakkan. Setiap pagi, ia berangkat ke bengkel, setiap pagi itu pula ia berpapasan dengan wajahwajah tetanggaku yang itu saja yang sedang santai di depan rumah. Setiap pagi pula aku menyapa mereka dengan sapaan yang sama, ya biar dikira orang yang sopan walau setiap hari harus menyapada denga sapaan yang sama,  sebuah etika yang memuakkan. “Monggo Dhe” sapaku pada setiap orang yang kukenal, dan mereka pun menjawab sama seperti yang lainnya dan apa yang aku lakukan itu, sering kulakukan setiap pagi, apa engkau tidak bosan dengan hal seperti itu?

Bengkel tempatku bekerja mempunyai tiga pekerja, si montir, aku dan seorang teman yang tak lain temannya si montir dari bengkel yang lama. Bengkel tidak pernah sepi dari kendaraankendaraan roda empat yang rusak, saat musim panen tebu-lah banyak sekali truk yang mengantri untuk diservis, sebab saat musim tebu banyak sekali truk yang berumur tua dioperasikan kembali. “truk tua begini kalau dipakai untuk mengambil pasir sudah tidak kuat, medanya terlalu berat.” Kata seorang sopir saat aku bertanya kenapa truknya ini jarang dipakai.

Aku bekerja sejak pukul sembilan, sampai selesainya semua truk yang harus diservis, larut malam terlalu sering,  terkadang mengerjakan truk harus sampai pagi. Terkadang ada juga truk yang harus diinapkan di bengkel  karena tidak memungkinkan akan selesai malam itu juga, pula kami pun kelelahan.

Dengan jam kerja yang seperti itu selama tiga tahun, aku mulai berpikir ulang. “Ya, di sini aku memang belajar namun kenapa upahku tidak layak dengan jam kerja yang begitu banyaknya, 12 jam itu pun minimal” gumamku dalam hati suatu malam saat aku hendak tidur. Satu Minggu sekali aku mendapat upah sebesar Rp 40ribu sampai Rp 70 ribu. Upah yang tidak seberapa itu tidak menjadi masalah buatku sebab niatku dibengkel itu adalah belajar, terkadang aku juga mendapat orderan di luar jam kerja, biasanya setiap bengkel libur di hari Jumat, untuk menservis truk di rumah si empunya. Untuk menambah penghasilan saat disuruh membeli onderdil aku meminta harga dinaikan lima ribu, awalnya aku mempunyai ketakutan jika ketahuan teman bengkelku namun setelah mengetahui bahwa mencari untuk dari harga onderdil sudah menjadi hal yang wajar. Ini bukan suatu aib namun memang begitulah. Saat aku pulang dari membeli onderdil si montir dengan tiba-tiba bertanya, “kamu dapat potongan berapa?” aku pun kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba dan aku menjawabnya seperti apa adanya, “aku mendapat potongan Rp 50ribu, ini uangnya” sambil kusodorkan uang itu kepadanya, namun si montir pun tersenyum dan aku mulai kebingungan, “tidak apa-apa itu memang buatmu, aku pun juga begitu bahkan kadang aku minta untuk harganya dinaikan.” Aku mengantongi uang Rp 50ribu, sambil bertanya tanya dalam hati, “apakah ini suatu penghinaan? Apakah dia memang seperti itu?” seorang temanku tibatiba berkata, “Iya, waktu di bengkel yang lama, kami juga seperti itu, jadi gak usah malu kalau bisa bagi-bagi” ia pun tertawa.

Hari-hari yang kulalui seperti biasa, pagi berangkat ke bengkel, malamnya pulang lalu nongkrong bersama teman-teman. Sampai pada suatu hari saat hendak berangkat ke bengkel aku baru menyadari kalau pakaian yang aku miliki habis karena kupakai untuk bekerja di bengkel. “Duh, bagaimana ini, upahku pun tak cukup untuk membeli sepotong celana.” Keluhku saat aku hendak berangkat ke bengkel.

Aku tidak lagi memikirkan pakaianku habis, seberapa aku bekerja keras di bengkel, upahku tidak lagi cukup untuk membeli pakaian. Teman-temanku banyak yang meledek saat kami sedang nongkrong malam hari sambil becanda, “Lu gak pernah ganti baju apa, itu mulu tiap hari yang lu pakai.” Sambil mereka tertawa. Aku mengelak dengan meyakinkan pada mereka kalau aku mempunyai baju dan celana yang kupakai lebih dari satu, namun mereka tetap saja tidak percaya.

Apakah ada sebuah keberuntungan? Jika tidak, apakah yang aku alami ini. pada suatu hari saat aku diminta untuk membeli onderdil, dalam perjalanan aku melihat sebungkus rokok yang jatuh dari pengendara yang berlawanan arah denganku di susul dengan jatuhnya beberapa kertas yang berwarna merah, aku meyakinkan diri bahwa yang jatuh itu adalah uang, dengan cepat aku mengendarai sepeda motor agar bisa mengambilnya, sementara si pengendara tidak menyadari kalau uangnya jatuh sebab ia mengendarai sepeda motornya dengan cepat. Beberapa lembar uangnya jatuh di pinggiran sawah. Aku menepi lalu mengambil uangnya dengan terburu-buru dan mendapatkan dua lembar uang seratus ribu, aku segera bergeas menghilangkan jejak dengan mengendarai sepeda motor masuk ke gang-gang kecil rumah-rumah penduduk takut kalau dia menyadari uangnya yang jatuh dan kembali untuk mengambilnya.

Sesampainya di bengkel aku bercerita kepada teman kerjaku kalau aku mendapatkan uang yang jatuh dari seorang pengendara sepeda motor. “seneng dong lu dapat duit banyak” komentar temanku, aku tersenyum menghinakan, senyum seorang yang mendapatkan kemenangan.

Malam harinya aku meminta salah seorang tetanggaku untuk mengantarku ke distro di kota Karanganyar untuk membeli beberapa potong pakaian dari uang yang kutemukan tadi siang.

Sejak kejadian itu aku selalu berharap kejadian itu selalu terulang, hari dan bulan terus berganti namun aku tidak lagi mengalami kejadian serupa. Pakaianpakaian pun tinggal beberapa potong. Aku mempertahankannya agar tidak kupakai untuk bekerja, aku tidak mampu lagi membeli pakaian.

Selama tiga tahun bekerja ia tidak pernah mendapatkan kenaikan gaji, ia mulai membolos kerja dari satu hari dalam satu minggu sampai satu minggu tidak pernah masuk dengan alasan sakit. ia berbohong, sebenarnya ia baik-baik saja. ia memutuskan untuk tidak lagi masuk kerja untuk selamanya tanpa memberi tahu kalau keluar dari bengkel, ia merasa kalau hidupnya dieksploitasi untuk bekerja dengan upah yang sangat sedikit.

“Apa yang akan kamu lakukan jika kamu tidak bekerja di bengkel?” tanya Ibunya saat ia mengatakan kalau ia telah berhenti bekerja.  ia menjawabnya dengan kebingungan, “aku tidak tahu Bu, apa yang akan aku lakukan, yang pasti aku akan bekerja lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar