Semua yang akan terjadi,
terjadilah, sebab kita tidak mengetahui apa yang ada di depan kita, sebuah
bayangan yang membayangi langkah-langkah, sebuah sebab dari sebuah akibat dan
terus berulang menjadi sebuah cerita panjang. Sekarang aku adalah sopir bus,
suatu saat nanti aku petani, adalah sebuah kemungkinan yang tidak pernah kita
duga, hidup sangatlah penuh dengan keterkejutan-keterkejutan dalam rasa yang
harus di rayakan penuh dengan keberanian.
Aku masih ingat, tahun 2010 saat
aku sedang di Jakarta, ya, aku di Jakarta menjalani sebagian takdir hidupku,
sebuah proses kehidupan yang mengantarkanku pada kebodohan-kebodohanku setelah
mengetahui apa yang ingin kuketahui ternyata masih banyak yang belum kuketahui
apa yang terjadi di bumi ini, segala hal.
Apa yang aku ceritakan ini, tidak
terjadi saat di Jakarta, ide ini muncul saat aku sedang berada di rumah, sebuah
rumah yang menjadi saksi perjalananku, saksi di mana aku dibesarkan dalam
sebuah lingkungan yang terbatas pada dinding-dinding kayu sebelum melakukan
perjalanan-perjalan di luar rumah.
Sudah dua tahun aku tidak ke
Bali, aku ke sana tahun 2011 dan malam itu aku memikirkan seperti apa Bali
sekarang? Bagaimana kabar kawan-kawan di sana? Oh, aku kangen, aku ingin
berkunjung ke sana, namun apalah daya hidup haruslah realistis, aku hanya bisa
menanyakan kabar kawan-kawan dari sebuah pesan. Aku menanyakan kabar semua
kawan satu persatu kepada seorang kawan. Bagaimana kabar si bos parkit,
bagaimana kabar papah muda, bagaimana kabar Wira, bagaimana kabar Dedi,
Bagaimana kabar Anto, temanku menjawab dengan jawaban yang sama dari semua
pertanyaanku yang sama, “Mereka baik-baik saja dan sibuk bekerja.”
Aku tidak ingin pertanyaanku
hanya sebatas itu, aku menanyakan di mana kalian nongkrong setelah warnet
di jual bos parkit, dan menanyakan keberadaan mereka. “Mereka masih di Bali
tapi jarang ketemu, ya kalau nongkrong di warungnya emak.” Emak yang memiliki
warung ini adalah orang Banyuwangi, sejak muda ia merantau di Bali dan menetap
di sana, saat aku tinggal di Bali, aku selalu berhutang makan di warungnya
emak, aku masih ingat kalau aku mempunyai hutang padanya seratus lima puluh
ribu.
Malam itu, aku ingin menyudahi
percakapan dengan kawanku, sebab aku bingung apa yang ingin aku obrolkan, ya,
aku memang susah untuk bercerita tentang berbagai hal, tidak seperti
teman-temanku yang pandai membual. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan seorang
kawan yang belum kutanyakan kabar dan kegiatannya, aku mengenalnya sebagai
musisi muda, saat itu. “oh Oris?” tanyanya meyakinkan.
“Ya, Oris.” Sahutku.
“Dia sedang di Prancis.” Katanya,
aku sedikit sambil menggerutu dalam hati, “Kampret temen-temen gue sudah pada
main ke luar aja.” Aku pun menanyakan, apa yang dilakukan Oris di sana, pentas
atau plesiran kepada temanku, dia pun menjawab dengan kesan enteng dalam
kalimat yang ia tulis. “Dia pameran di
sana,..” aku membaca pesan itu dengan agak terkejut, ternyata sekarang dia
menjadi pelukis, begitu banyak perubahan yang terjadi pada teman-temanku, dulu
ia seorang musisi sekarang menjadi perupa, namun aku tidak yakin apakah ia
seorang pelukis, menjelang pagi, percakapanku dengannya seperti sedang
wawancara, aku sebagai penanya dan kawanku sebagai penjawab. “Dia di sana
pameran lukisan? Pacarnya orang Prancis ya?” awalnya aku hanya ingin menanyakan
apakah dia di sana pameran lukisan, namun aku ingin membuktikan pernyataan
temanku saat di Jakarta.
“Ya,.... dia pameran lukisan, kok
kamu tahu kalau dia pacaran dengan orang Prancis? Dia juga akan menikah di
sana.” Saat membaca jawaban dari temanku, aku hanya senyum menghinakan, entah
kepada senyum menghinakan ini kutujukan, jika tidak kepada Oris, Kawanku atau
sebuah fenomena ini.
Sudah terlalu pagi untuk
melanjutkan obrolan ini, waktu saat itu menunjukan pukul 4.20 WIB, “ah di sana
sudah jam setengah enam berarti, pantas kalau Poe po seperti enggan menjawab
pertanyaanku.” Aku mencoba tidur dengan
mata terpejam, namun tetap saja aku tidak bisa tidur walau mata sudah
kupejamkan. Sebuah pikiran menghalangi langkahku menuju lelap, aku mengikuti
saja apa yang diinginkan apa yang menghalangi lelapku dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam hati, yang kujawab sendiri dengan pikiran. “apakah
ia pergi ke Slovakia, performance di sana juga karena pacarnya? Namun kenapa
harus ada vooting? Apakah ia mendapat banyak vooting? Kenapa vooting itu ada
setelah pacarnya pulang ke negaranya? Mungkin saja ia menang Vooting, mungkin
ia bisa ke sana karena pacarnya, seperti yang lainnya, namun apa urusanku,
persetanlah dengan hal itu, apa karya yang mereka pamerkan di sana keren? Apa performanceny
dahsyat? Aku rasa tidak, aku pernah performance dengannya namun aku merasa,
performance dengannya berkali-kali jauh dari baik, keren atau pun dahsyat. Atau
ini hanya sebuah permasalahan selera menonton performance? Entahlah, bangsat
aku ingin tidur, berarti apa yang dikatakan Bang Hafiz adalah sebuah kebenaran
sebuah fenomena yang tidak harus di amini, “Kalau lu ingin menjadi seniman yang
bisa pameran ke luar negeri, pacarilah bule dan tinggalah di Jogja.”
Ya, apa yang dikatakannya adalah
sebuah kebenaran yang terjadi, sebuah fenomena dikalangan seniman muda, terlepas
dari karya yang mereka pameran di sana keren atau tidak, apapun jenis sebuah
karya itu adalah bagian dari sebuah proses si seniman. Tetap semangat dan terus
berkarya.....! dengan keajaibannya, tidur membuatku terlelap, melupakan semua
keduniaan, apa yang terjadi di luar sana, persetan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar