Selasa, 24 September 2013

Sebuah Fenomena


Semua yang akan terjadi, terjadilah, sebab kita tidak mengetahui apa yang ada di depan kita, sebuah bayangan yang membayangi langkah-langkah, sebuah sebab dari sebuah akibat dan terus berulang menjadi sebuah cerita panjang. Sekarang aku adalah sopir bus, suatu saat nanti aku petani, adalah sebuah kemungkinan yang tidak pernah kita duga, hidup sangatlah penuh dengan keterkejutan-keterkejutan dalam rasa yang harus di rayakan penuh dengan keberanian.


Aku masih ingat, tahun 2010 saat aku sedang di Jakarta, ya, aku di Jakarta menjalani sebagian takdir hidupku, sebuah proses kehidupan yang mengantarkanku pada kebodohan-kebodohanku setelah mengetahui apa yang ingin kuketahui ternyata masih banyak yang belum kuketahui apa yang terjadi di bumi ini, segala hal.

Apa yang aku ceritakan ini, tidak terjadi saat di Jakarta, ide ini muncul saat aku sedang berada di rumah, sebuah rumah yang menjadi saksi perjalananku, saksi di mana aku dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang terbatas pada dinding-dinding kayu sebelum melakukan perjalanan-perjalan di luar rumah.

Sudah dua tahun aku tidak ke Bali, aku ke sana tahun 2011 dan malam itu aku memikirkan seperti apa Bali sekarang? Bagaimana kabar kawan-kawan di sana? Oh, aku kangen, aku ingin berkunjung ke sana, namun apalah daya hidup haruslah realistis, aku hanya bisa menanyakan kabar kawan-kawan dari sebuah pesan. Aku menanyakan kabar semua kawan satu persatu kepada seorang kawan. Bagaimana kabar si bos parkit, bagaimana kabar papah muda, bagaimana kabar Wira, bagaimana kabar Dedi, Bagaimana kabar Anto, temanku menjawab dengan jawaban yang sama dari semua pertanyaanku yang sama, “Mereka baik-baik saja dan sibuk bekerja.”

Aku tidak ingin pertanyaanku hanya sebatas itu, aku menanyakan di mana kalian nongkrong setelah warnet di jual bos parkit, dan menanyakan keberadaan mereka. “Mereka masih di Bali tapi jarang ketemu, ya kalau nongkrong di warungnya emak.” Emak yang memiliki warung ini adalah orang Banyuwangi, sejak muda ia merantau di Bali dan menetap di sana, saat aku tinggal di Bali, aku selalu berhutang makan di warungnya emak, aku masih ingat kalau aku mempunyai hutang padanya seratus lima puluh ribu.

Malam itu, aku ingin menyudahi percakapan dengan kawanku, sebab aku bingung apa yang ingin aku obrolkan, ya, aku memang susah untuk bercerita tentang berbagai hal, tidak seperti teman-temanku yang pandai membual. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan seorang kawan yang belum kutanyakan kabar dan kegiatannya, aku mengenalnya sebagai musisi muda, saat itu. “oh Oris?” tanyanya meyakinkan.
“Ya, Oris.” Sahutku.
“Dia sedang di Prancis.” Katanya, aku sedikit sambil menggerutu dalam hati, “Kampret temen-temen gue sudah pada main ke luar aja.” Aku pun menanyakan, apa yang dilakukan Oris di sana, pentas atau plesiran kepada temanku, dia pun menjawab dengan kesan enteng dalam kalimat yang ia tulis.  “Dia pameran di sana,..” aku membaca pesan itu dengan agak terkejut, ternyata sekarang dia menjadi pelukis, begitu banyak perubahan yang terjadi pada teman-temanku, dulu ia seorang musisi sekarang menjadi perupa, namun aku tidak yakin apakah ia seorang pelukis, menjelang pagi, percakapanku dengannya seperti sedang wawancara, aku sebagai penanya dan kawanku sebagai penjawab. “Dia di sana pameran lukisan? Pacarnya orang Prancis ya?” awalnya aku hanya ingin menanyakan apakah dia di sana pameran lukisan, namun aku ingin membuktikan pernyataan temanku saat di Jakarta.
“Ya,.... dia pameran lukisan, kok kamu tahu kalau dia pacaran dengan orang Prancis? Dia juga akan menikah di sana.” Saat membaca jawaban dari temanku, aku hanya senyum menghinakan, entah kepada senyum menghinakan ini kutujukan, jika tidak kepada Oris, Kawanku atau sebuah fenomena ini.

Sudah terlalu pagi untuk melanjutkan obrolan ini, waktu saat itu menunjukan pukul 4.20 WIB, “ah di sana sudah jam setengah enam berarti, pantas kalau Poe po seperti enggan menjawab pertanyaanku.”  Aku mencoba tidur dengan mata terpejam, namun tetap saja aku tidak bisa tidur walau mata sudah kupejamkan. Sebuah pikiran menghalangi langkahku menuju lelap, aku mengikuti saja apa yang diinginkan apa yang menghalangi lelapku dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam hati, yang kujawab sendiri dengan pikiran. “apakah ia pergi ke Slovakia, performance di sana juga karena pacarnya? Namun kenapa harus ada vooting? Apakah ia mendapat banyak vooting? Kenapa vooting itu ada setelah pacarnya pulang ke negaranya? Mungkin saja ia menang Vooting, mungkin ia bisa ke sana karena pacarnya, seperti yang lainnya, namun apa urusanku, persetanlah dengan hal itu, apa karya yang mereka pamerkan di sana keren? Apa performanceny dahsyat? Aku rasa tidak, aku pernah performance dengannya namun aku merasa, performance dengannya berkali-kali jauh dari baik, keren atau pun dahsyat. Atau ini hanya sebuah permasalahan selera menonton performance? Entahlah, bangsat aku ingin tidur, berarti apa yang dikatakan Bang Hafiz adalah sebuah kebenaran sebuah fenomena yang tidak harus di amini, “Kalau lu ingin menjadi seniman yang bisa pameran ke luar negeri, pacarilah bule dan tinggalah di Jogja.

Ya, apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran yang terjadi, sebuah fenomena dikalangan seniman muda, terlepas dari karya yang mereka pameran di sana keren atau tidak, apapun jenis sebuah karya itu adalah bagian dari sebuah proses si seniman. Tetap semangat dan terus berkarya.....! dengan keajaibannya, tidur membuatku terlelap, melupakan semua keduniaan, apa yang terjadi di luar sana, persetan!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar