Ada suatu kesenangan saat lelaki
itu melihat beberapa atau seseorang berpakaian hitamhitam. Penampilan seperti
itu selalu ingin ia ikuti, berkaos hitam, celana cargo warna hitam, dan
bersepatu cats. Keinginan itu hanya sebatas keinginan, seperti pepatah jawa ati karep bondo cupet. Namun, ia tetap
berusaha untuk bernampilan seperti itu.
Pernah ia melihat lima anak punk
berjalan di dalam terminal. saat ia dan temannya sedang duduk menunggu bus
untuk pulang ke rumah sepulang sekolah. “Wuih ada anak punk.” Kata temannya. Ia
sedang asyik melihat ke sebuah loket bus antar provinsi mengamati antrian pembeli,
segera ia mengalihkan pandangannya dari antrian loket bus untuk melihat anak
punk. Dengan cepat matanya melihat tiga anak punk yang sedang tertawa melihat
seorang temannya yang sedang merayu-rayu seorang gadis SMP sambil menyerahkan
sebuah bunga mawar merah, si gadis terlihat malu-malu untuk menerimanya, gadis
itu hanya tersenyum-senyum saja, seorang lagi berjalan sendirian di belakang
teman-temannya. Mata-mata yang duduk di terminal melihat ke arah anak punk,
sesekali mata-mata itu mengomentari dengan orang di sebelahnya, seperti dua
orang bapak-bapak yang duduk di depanku. Anak punk yang sedang merayu si gadis
mengenakan sepatu boots seperti sepatu militer atau hansip yang pernah kulihat,
berkaos hitam dengan celana jeans berwarna biru tua yang nampak seperti dipotong
sebatas lutut, dan rambutnya yang berdiri tegak yang terisisa dibagian tengah
kepalanya, “menarik sekali penampilannya.” Komentarku dalam hati sambil
mengamati tingkah mereka yang sedang tertawa-tawa sampai mereka hilang disebuah
tikungan, “Betapa bahagianya hidup mereka, setiap hari becanda dan kluyuran.”
“Aku mempunyai dua buah celana
jeans panjang berwarna hitam, mana yang harus kupotong?” Selama pejalanan
pulang di dalam bus, hanya itu yang ia pikirkan, ia ingin mempunyai celana seperti
anak punk yang dilihatnya tadi. Sesampainya di rumah ia tidak langsung memasak
untuk makan siang, ia membuka lemari pakaiannya, mengambil sebuah celana jeans
panjang berwarna hitam, “toh kedua-duanya berwarna hitam, yang ini sajalah yang
akan kupotong.” Katanya dalam hati sambil menimbang-nimbang, “rasanya sayang
jika kupotong.” Akhirnya ia memutuskan memotong celana itu sebatas lutut sebab
keinginan untuk berpenampilan seperti anak punk tadi begitu kuat.
Sepanjang hari itu ia memakai celana
yang baru ia potong dengan perasaan senang, semua kegiatannya sepulang sekolah
telah selesai dikerjakan, mulai dari memasak, cuci piring dan bersih-bersih
rumah. “Celana ini enak sekali dipakai, nyaman.” Katanya dalam hati sambil
tersenyum senang sebab ia bisa berpenampilan seperti yang ia inginkan. “Kenapa
celanamu, kamu potong.” Suara bapak yang tiba-tiba mengagetkanku yang sedang
rebahan di sebuah kursi sambil membaca buku mata pelajaran besok. Dengan nada
takut ia menjawab, “Celana pendek saya Cuma satu Pak.” Sambil tertunduk ke muka
buku pelajaran yang sedang ia baca karena takut dengan bapaknya yang nampak
marah. “Kalau celana panjang ya biarkan panjang, gak usah dipotong-potong.” Jawab
bapak dengan nada tinggi, aku hanya diam tertunduk ketakutan mengamati langkahnya,
“Oh lega,” gumamku dalam hati saat melihat bapak sedang meminum segelas teh
yang kubuatkan. Setiap hari aku selalu menyediakan teh untuk menyambut bapak
pulang kerja, jika tidak, ia akan marah. “Kamu pulang sekolah ngapain, kenapa
gak buatin teh untuk bapak, gak tahu apa rasanya orang kerja seharian, cuma disuruh
bikin teh saja gak mau.”
Pengetahuannya tentang punk
semakin bertambah, tentang style dan musik dari beberapa band luar negeri. Ia mengetahui
itu dari teman-temannya di sekolah dan di sebuah distro tempatnya nongkrong
sepulang sekolah setelah diajak temannya untuk melihat-lihat barang-barang di
distro yang hanya membuatku ingin saja membelinya namun tetap saja, ati karep bondo cupet. Sejak saat itu
sepulang sekolah ia selalu nongkrong di distro, menunggu bus untuk pulang ke
rumah dan mendengarkan musik-musik keras yang gebukan drumnya terdengar cepat
dan mantab di telinga sambil menghentak-hentakan kakinya dan menggerak-gerakkan
tangannya seolah-olah sedang menggebuk sebuah drum.
Di seberang jalan, tepat di depan
di distro tempatnya nongkrong telah dibuka studio musik, setiap hari Selasa
sepulang sekolah bermain musik menjadi jadwal kegiatannya dan temantemannya,
saat sedang latihan mereka sering memainkan lagu Bintang di Surga-nya Peterpan,
Boulevar Broken Dreams, America Idiot-nya Green Day, Simple Plan dan Good
Charloote, bermain musik di hari Selasa sepulang sekolah hanya berjalan selama
empat kali sebab mereka telah mengenal internet dan menghabiskan waktu sepulang
sekolah sampai bus trayek terakhir. Saat itu, aku mengenal punk hanya sebatas
musik dan style.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar