Kamis, 12 September 2013

Mengenal Punk


Ada suatu kesenangan saat lelaki itu melihat beberapa atau seseorang berpakaian hitamhitam. Penampilan seperti itu selalu ingin ia ikuti, berkaos hitam, celana cargo warna hitam, dan bersepatu cats. Keinginan itu hanya sebatas keinginan, seperti pepatah jawa ati karep bondo cupet. Namun, ia tetap berusaha untuk bernampilan seperti itu.


Pernah ia melihat lima anak punk berjalan di dalam terminal. saat ia dan temannya sedang duduk menunggu bus untuk pulang ke rumah sepulang sekolah. “Wuih ada anak punk.” Kata temannya. Ia sedang asyik melihat ke sebuah loket bus antar provinsi mengamati antrian pembeli, segera ia mengalihkan pandangannya dari antrian loket bus untuk melihat anak punk. Dengan cepat matanya melihat tiga anak punk yang sedang tertawa melihat seorang temannya yang sedang merayu-rayu seorang gadis SMP sambil menyerahkan sebuah bunga mawar merah, si gadis terlihat malu-malu untuk menerimanya, gadis itu hanya tersenyum-senyum saja, seorang lagi berjalan sendirian di belakang teman-temannya. Mata-mata yang duduk di terminal melihat ke arah anak punk, sesekali mata-mata itu mengomentari dengan orang di sebelahnya, seperti dua orang bapak-bapak yang duduk di depanku. Anak punk yang sedang merayu si gadis mengenakan sepatu boots seperti sepatu militer atau hansip yang pernah kulihat, berkaos hitam dengan celana jeans berwarna biru tua yang nampak seperti dipotong sebatas lutut, dan rambutnya yang berdiri tegak yang terisisa dibagian tengah kepalanya, “menarik sekali penampilannya.” Komentarku dalam hati sambil mengamati tingkah mereka yang sedang tertawa-tawa sampai mereka hilang disebuah tikungan, “Betapa bahagianya hidup mereka, setiap hari becanda dan kluyuran.”

“Aku mempunyai dua buah celana jeans panjang berwarna hitam, mana yang harus kupotong?” Selama pejalanan pulang di dalam bus, hanya itu yang ia pikirkan, ia ingin mempunyai celana seperti anak punk yang dilihatnya tadi. Sesampainya di rumah ia tidak langsung memasak untuk makan siang, ia membuka lemari pakaiannya, mengambil sebuah celana jeans panjang berwarna hitam, “toh kedua-duanya berwarna hitam, yang ini sajalah yang akan kupotong.” Katanya dalam hati sambil menimbang-nimbang, “rasanya sayang jika kupotong.” Akhirnya ia memutuskan memotong celana itu sebatas lutut sebab keinginan untuk berpenampilan seperti anak punk tadi begitu kuat.

Sepanjang hari itu ia memakai celana yang baru ia potong dengan perasaan senang, semua kegiatannya sepulang sekolah telah selesai dikerjakan, mulai dari memasak, cuci piring dan bersih-bersih rumah. “Celana ini enak sekali dipakai, nyaman.” Katanya dalam hati sambil tersenyum senang sebab ia bisa berpenampilan seperti yang ia inginkan. “Kenapa celanamu, kamu potong.” Suara bapak yang tiba-tiba mengagetkanku yang sedang rebahan di sebuah kursi sambil membaca buku mata pelajaran besok. Dengan nada takut ia menjawab, “Celana pendek saya Cuma satu Pak.” Sambil tertunduk ke muka buku pelajaran yang sedang ia baca karena takut dengan bapaknya yang nampak marah. “Kalau celana panjang ya biarkan panjang, gak usah dipotong-potong.” Jawab bapak dengan nada tinggi, aku hanya diam tertunduk ketakutan mengamati langkahnya, “Oh lega,” gumamku dalam hati saat melihat bapak sedang meminum segelas teh yang kubuatkan. Setiap hari aku selalu menyediakan teh untuk menyambut bapak pulang kerja, jika tidak, ia akan marah. “Kamu pulang sekolah ngapain, kenapa gak buatin teh untuk bapak, gak tahu apa rasanya orang kerja seharian, cuma disuruh bikin teh saja gak mau.”

Pengetahuannya tentang punk semakin bertambah, tentang style dan musik dari beberapa band luar negeri. Ia mengetahui itu dari teman-temannya di sekolah dan di sebuah distro tempatnya nongkrong sepulang sekolah setelah diajak temannya untuk melihat-lihat barang-barang di distro yang hanya membuatku ingin saja membelinya namun tetap saja, ati karep bondo cupet. Sejak saat itu sepulang sekolah ia selalu nongkrong di distro, menunggu bus untuk pulang ke rumah dan mendengarkan musik-musik keras yang gebukan drumnya terdengar cepat dan mantab di telinga sambil menghentak-hentakan kakinya dan menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah sedang menggebuk sebuah drum.

Di seberang jalan, tepat di depan di distro tempatnya nongkrong telah dibuka studio musik, setiap hari Selasa sepulang sekolah bermain musik menjadi jadwal kegiatannya dan temantemannya, saat sedang latihan mereka sering memainkan lagu Bintang di Surga-nya Peterpan, Boulevar Broken Dreams, America Idiot-nya Green Day, Simple Plan dan Good Charloote, bermain musik di hari Selasa sepulang sekolah hanya berjalan selama empat kali sebab mereka telah mengenal internet dan menghabiskan waktu sepulang sekolah sampai bus trayek terakhir. Saat itu, aku mengenal punk hanya sebatas musik dan style. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar