Kamis, 19 September 2013

Penjala Ikan


Setiap jam dua dini hari, kakak dan adik itu berangkat ke sungai, membentangkan jala di sebuah lokasi yang tidak jauh dari tempat mandi warga sekitar. Sudah satu minggu mereka menjala ikan di lokasi yang sama, namun tak satupun ikan yang ia dapatkan.


Menjala ikan di sungai adalah mata pencahariaan mereka, sebab mereka berdua hanya lulusan Sekolah Dasar, lagipula mereka tidak mau meninggalkan kampung halaman dan menjalani hidup jauh dari Ibunya, hanya untuk mencari pekerjaan seperti teman-teman mereka yang pernah berkata padanya, jika ingin menjadi sukses, banyak uang, hidup makmur, merantaulah ke kota. Mereka mempercayai semesta tidak akan membiarkan mereka mati kelaparan jika hanya menjadi seorang penjala ikan di sungai, untuk kemakmuran mereka bersikap mensyukuri apa yang mereka dapat, selama masih berusaha, hidup yang berkecukupan adalah kemakmuran, yang merasa kurang dari apa yang didapatkan itu sebuah keserakahan, begitulah pesan Ibunya, saat mereka mengeluh jika tidak mendapat ikan yang banyak seperti musim hujan kemarin.

Sebelum berangkat memasang jala di sungai, mereka berdua berencana untuk mencoba memasang jalan di lain tempat. Ia berangkat seperti biasa, jam dua dini hari, membawa jala yang berukuran 10x2 meter dan lampu senter, memakai celana pendek selutut, kaos dan sarung yang dikalungkan di leher. Semilir angin menambah dinginnya langkah mereka menelusuri pinggir sungai yang gelap hanya cahaya dari senter yang menerangi langkahnya , sesekali mereka berpapasan dengan ular yang sedang memakan kodok atau ular yang sedang melintas, mendengar suara-suara aneh yang selalu mereka anggap itu adalah suara binatang yang belum pernah mereka tahu. ia tidak pernah takut terhadap gelapnya malam, apa yang harus ditakuti dari gelap?  Apa takut tersesat? Tidak, selama tahu tujuan kemana mereka harus melangkah sampai di sebuah lokasi yang tidak jauh dari makam desa.

Si Kakak mulai menyeberang dengan telanjang, berenang sambil memegangi ujung jala, dengan gembolan yang berisi sarung, kaos dan celananya yang terbungkus plastik yang diikatkan di pinggang, yang akan dipakainya lagi jika sudah sampai tepi sungai, sementara adiknya berdiri sambil memegangi ujung jala satunya dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegangi senter yang cahayanya di arahkan ke kakaknya yang sedang menyebrang.

Sambil menunggu fajar untuk mengangkat jala, mereka menekuri nasib dan hidup di seberang sisi sungai yang berbeda. Hidup macam apa yang harus kujalani di dunia ini? Pikir Si Adik sambil mengamati air sungai yang mengalir tenang. Betapa bahagianya jika aku adalah air sungai itu, yang hanya mengalir tanpa tahu ke mana harus bermuara dan melintas, tidak seperti aku yang harus memikirkan bagaimana agar besok bisa makan.

Sementara Si Kakak sambil menunggu fajar dengan harapan mendapatkan hasil ikan jalaan yang banyak, Ia menikmati asap rokok yang ia hisap untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan seusai menyeberang, aku tidak lagi mempunyai uang untuk membeli rokok, semoga saja nanti mendapatkan hasil yang cukup agar bisa membeli beras, yang penting bisa makan. Gumamnya dalam hati. Matanya mengamati air sungai yang mengalir, kulitnya menikmati angin yang berdesir membawa dingin dan perubahan pada ranting-ranting pohon yang daunnya berjatuhan, dan isi kepalanya mulai berpikir, setiap waktu adalah perubahan, namun apakah hidupku akan seperti ini saja? Seperti apapun kehidupan yang harus kujalani, aku akan menjalani penuh dengan suka cita.

Sebuah cerita yang mudah ditebak, kuranglah mengasyikkan. Pagi saat matahari terbit, mereka mengangkat harapannya hari ini dari jala yang mereka pasang, Si Adik menyeberang sambil memegangi ujung jala sambil berenang dengan gembolan yang berisi pakaiannya yang diikat di pinggang menuju sisi seberang di mana kakaknya berdiri memegangi ujung jala satunya. Hanya  beberapa ikan yang mereka dapat dan jika pun dijual hasil jalaannya tidak cukup untuk membeli satu kilogram beras, mereka memutuskan untuk tidak segera pulang dan menerima hasil yang mereka dapat, mereka memutuskan untuk membentangkan jala, empat kali membentangkan jala sejak malam hingga matahari terasa terik di kulit mereka yang coklat kehitaman barulah mereka pulang dan menawarkan kepada tetangga-tetangganya untuk membeli ikan yang mereka dapat. Dua puluh ikan yang berukuran dua jari orang dewasa dibeli dengan harga tigabelas ribu oleh seorang tetangga, sebelum pulang mereka membeli satu kilogram beras dan delapan buah tempe dari uang yang mereka dapat.

Malamnya mereka tidak berangkat menjala ikan, mereka berencana menjala ikan pagi hari saja, malam itu mereka tidak bisa tidur, sambil menunggu kantuk yang telah lama menghilang setiap malam, mereka duduk di teras bersama Ibunya, Ibunya bercerita tentang masa mudanya dan bagaimana ia bisa bertemu lalu menikah dengan bapakknya. Malam sudah terlalu larut untuk mendengarkan cerita masa muda Ibunya, mereka berpamitan pada Ibunya lalu menuju kamar dan berdiam diri di kamar masing-masing, membolak-balikkan tubuh ke kiri ke kanan dan terbangun pukul delapan pagi, tanpa sarapan mereka berdua menyiapkan peralatan lalu berangkat menuju lokasi sungai kemarin malam.

Pas kedua kali jala yang mereka pasang diangkat kembali, mereka berdua mendapatkan hasil lebih dari kemarin. Dengan bergegas mereka pulang, menawarkan ikan hasil jalaan kepada tetangga dan mendapatkan uang yang cukup untuk makan selama dua hari.

Terus berulang kehidupan mereka, kadang mendapatkan banyak dan kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil jalaan, seperti roda yang terus berputar tanpa pernah berhenti sampai yang menggerakkan roda terlalu tua dan akhirnya jatuh rusak di sebuah taman hitam dan putih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar