Setiap jam dua dini hari, kakak
dan adik itu berangkat ke sungai, membentangkan jala di sebuah lokasi yang
tidak jauh dari tempat mandi warga sekitar. Sudah satu minggu mereka menjala
ikan di lokasi yang sama, namun tak satupun ikan yang ia dapatkan.
Menjala ikan di sungai adalah
mata pencahariaan mereka, sebab mereka berdua hanya lulusan Sekolah Dasar,
lagipula mereka tidak mau meninggalkan kampung halaman dan menjalani hidup jauh
dari Ibunya, hanya untuk mencari pekerjaan seperti teman-teman mereka yang
pernah berkata padanya, jika ingin menjadi sukses, banyak uang, hidup makmur,
merantaulah ke kota. Mereka mempercayai semesta tidak akan membiarkan mereka
mati kelaparan jika hanya menjadi seorang penjala ikan di sungai, untuk
kemakmuran mereka bersikap mensyukuri apa yang mereka dapat, selama masih berusaha,
hidup yang berkecukupan adalah kemakmuran, yang merasa kurang dari apa yang
didapatkan itu sebuah keserakahan, begitulah pesan Ibunya, saat mereka mengeluh
jika tidak mendapat ikan yang banyak seperti musim hujan kemarin.
Sebelum berangkat memasang jala
di sungai, mereka berdua berencana untuk mencoba memasang jalan di lain tempat.
Ia berangkat seperti biasa, jam dua dini hari, membawa jala yang berukuran 10x2
meter dan lampu senter, memakai celana pendek selutut, kaos dan sarung yang
dikalungkan di leher. Semilir angin menambah dinginnya langkah mereka
menelusuri pinggir sungai yang gelap hanya cahaya dari senter yang menerangi
langkahnya , sesekali mereka berpapasan dengan ular yang sedang memakan kodok
atau ular yang sedang melintas, mendengar suara-suara aneh yang selalu mereka
anggap itu adalah suara binatang yang belum pernah mereka tahu. ia tidak pernah
takut terhadap gelapnya malam, apa yang harus ditakuti dari gelap? Apa takut tersesat? Tidak, selama tahu tujuan kemana
mereka harus melangkah sampai di sebuah lokasi yang tidak jauh dari makam desa.
Si Kakak mulai menyeberang dengan
telanjang, berenang sambil memegangi ujung jala, dengan gembolan yang berisi
sarung, kaos dan celananya yang terbungkus plastik yang diikatkan di pinggang,
yang akan dipakainya lagi jika sudah sampai tepi sungai, sementara adiknya
berdiri sambil memegangi ujung jala satunya dengan tangan kiri dan tangan
kanannya memegangi senter yang cahayanya di arahkan ke kakaknya yang sedang
menyebrang.
Sambil menunggu fajar untuk
mengangkat jala, mereka menekuri nasib dan hidup di seberang sisi sungai yang
berbeda. Hidup macam apa yang harus kujalani di dunia ini? Pikir Si Adik sambil
mengamati air sungai yang mengalir tenang. Betapa bahagianya jika aku adalah
air sungai itu, yang hanya mengalir tanpa tahu ke mana harus bermuara dan
melintas, tidak seperti aku yang harus memikirkan bagaimana agar besok bisa
makan.
Sementara Si Kakak sambil
menunggu fajar dengan harapan mendapatkan hasil ikan jalaan yang banyak, Ia
menikmati asap rokok yang ia hisap untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan
seusai menyeberang, aku tidak lagi mempunyai uang untuk membeli rokok, semoga
saja nanti mendapatkan hasil yang cukup agar bisa membeli beras, yang penting
bisa makan. Gumamnya dalam hati. Matanya mengamati air sungai yang mengalir,
kulitnya menikmati angin yang berdesir membawa dingin dan perubahan pada
ranting-ranting pohon yang daunnya berjatuhan, dan isi kepalanya mulai
berpikir, setiap waktu adalah perubahan, namun apakah hidupku akan seperti ini
saja? Seperti apapun kehidupan yang harus kujalani, aku akan menjalani penuh
dengan suka cita.
Sebuah cerita yang mudah ditebak,
kuranglah mengasyikkan. Pagi saat matahari terbit, mereka mengangkat harapannya
hari ini dari jala yang mereka pasang, Si Adik menyeberang sambil memegangi
ujung jala sambil berenang dengan gembolan yang berisi pakaiannya yang diikat
di pinggang menuju sisi seberang di mana kakaknya berdiri memegangi ujung jala
satunya. Hanya beberapa ikan yang mereka
dapat dan jika pun dijual hasil jalaannya tidak cukup untuk membeli satu
kilogram beras, mereka memutuskan untuk tidak segera pulang dan menerima hasil
yang mereka dapat, mereka memutuskan untuk membentangkan jala, empat kali membentangkan
jala sejak malam hingga matahari terasa terik di kulit mereka yang coklat
kehitaman barulah mereka pulang dan menawarkan kepada tetangga-tetangganya
untuk membeli ikan yang mereka dapat. Dua puluh ikan yang berukuran dua jari
orang dewasa dibeli dengan harga tigabelas ribu oleh seorang tetangga, sebelum
pulang mereka membeli satu kilogram beras dan delapan buah tempe dari uang yang
mereka dapat.
Malamnya mereka tidak berangkat
menjala ikan, mereka berencana menjala ikan pagi hari saja, malam itu mereka
tidak bisa tidur, sambil menunggu kantuk yang telah lama menghilang setiap
malam, mereka duduk di teras bersama Ibunya, Ibunya bercerita tentang masa
mudanya dan bagaimana ia bisa bertemu lalu menikah dengan bapakknya. Malam sudah
terlalu larut untuk mendengarkan cerita masa muda Ibunya, mereka berpamitan
pada Ibunya lalu menuju kamar dan berdiam diri di kamar masing-masing,
membolak-balikkan tubuh ke kiri ke kanan dan terbangun pukul delapan pagi,
tanpa sarapan mereka berdua menyiapkan peralatan lalu berangkat menuju lokasi
sungai kemarin malam.
Pas kedua kali jala yang mereka
pasang diangkat kembali, mereka berdua mendapatkan hasil lebih dari kemarin. Dengan
bergegas mereka pulang, menawarkan ikan hasil jalaan kepada tetangga dan
mendapatkan uang yang cukup untuk makan selama dua hari.
Terus berulang kehidupan mereka,
kadang mendapatkan banyak dan kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil jalaan,
seperti roda yang terus berputar tanpa pernah berhenti sampai yang menggerakkan
roda terlalu tua dan akhirnya jatuh rusak di sebuah taman hitam dan putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar