Kamis, 19 September 2013

WanitaWanita Yang Pernah Singgah (Belum Berakhir)


Kapan Anda menyadari datangnya ketertarikan Anda terhadap lawan jenis? Kelas empat SD aku sudah tertarik dengan seorang gadis pindahan dari sekolah lama, sekolah barunya bersebelahan dengan sekolahanku. Gadis itu bernama Mila, rumahnya seratus meter dari rumahku, anak dari seorang pegawai perhutani, wajahnya cantik. Ketertarikanku dengannya hanya dua minggu saja, setelah itu seperti biasa, tidak ada lagi sebuah perasaan yang membuatku begitu ingin melihatnya terus dan terus seperti awal pertama aku mengetahui kehadirannya.


Aku bangga dengan kemampuan daya ingatku untuk mengingat kejadiankejadian masa lalu, yang penting maupun tidak penting, berkesan dan tidak berkesan. Sebuah anugerah yang harus kurawat dan kusyukuri agar bisa menyimpan kejadiankejadian yang pernah kulalui sebelum kutuliskan, sebab suatu saat aku tidak tahu jika tibatiba ingatanku tidak lagi tajam dan mudah lupa, dengan apa aku mengingatnya lagi jika bukan dari sebuah kejadian yang kutuliskan? Dengan apa lagi kisahkisah bisa hidup lama dari usia manusia jika bukan dari yang kutuliskan?

Kelas lima SD, aku mewakili sekolahanku mengikuti lomba cerdas cermat bidang Matematika tingkat Kawedanan yang diadakan di sekolahan yang bersebelahan dengan sekolahku. Pusing? Dengan cepat aku mengerjakan soalsoal yang dilombakan, sebab seorang perwakilan dari sekolahan yang sekolahannya dijadikan lokasi lomba yang duduk di belakangku mendapat bantuan jawaban dari pengawas lomba yang tak lain guru dari sekolahan yang sekolahannya dijadikan lokasi lomba. Pusing? Lembar jawaban sudah kukumpulkan lalu aku dipersilahkan keluar ruangan untuk menunggu yang lainnya sampai selesai dan sampai pengumuman juara.

Aku duduk di lantai, di luar ruangan lomba, aku melihat dua orang gadis sedang bermain di bawah pohon Beringin, seorang temannya berambut keriting lari masuk ke dalam ruang kelas yang tidak dipakai untuk ruang lomba karena ketakutan melihat ulat yang berada digenggaman  seorang temannya gadis berambut lurus pendek. Apa yang mendorongku untuk ikut bermain bersama mereka, aku tidak tahu, aku mengambil ulat berwarna hitam dari sebuah tangkai bunga lalu kutunjukan kepada si gadis berambut lurus pendek, “Kamu takut dengan ulat ini?” tanyaku padanya sambil membuka genggamanku. Ia menjerit lalu kabur ke dalam ruangan yang sama dengan temannya yang kabur tadi, lalu menutup pintunya sambil melihatku dari sebuah jendela kaca. Aku pun menggodanya dengan berpurapura membuang ulat yang kugenggam lalu berjalan mendekati ruangannya, ia pun keluar dari ruangan, namun setelah kuperlihatkan ulat yang masih berada di tanganku ia pun kembali masuk dan menutup pintunya rapatrapat, aku pun tertawa. Aku sudah membuang ulat itu pada sebuah pot bunga, memperlihatkan telapak tanganku kepada si gadis berambut lurus pendek, yang melihatku dari sebuah jendela sambil tersenyum yang tak bisa kuartikan arti senyumannya, ia keluar sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Namanya Winda, duduk di bangku kelas enam, rumahnya seratus meter ke arah barat dari rumah nenekku.

Perkenalanku dengannya sesingkat itu, apakah itu sebuah kesan? Sejak saat itu aku tidak lagi bermain dengannya, aku selalu mencari keberadaanya, entah apa yang kucari darinya, namun aku selalu senang saat melihat ia tersenyum padaku, setiap pagi aku menunggunya melintas di pintu gerbang sekolahannya agar bisa melihat senyumnya.

Sejak ia menjadi siswa SMP, aku hanya bisa melihatnya tersenyum saat ia berangkat ke sekolah.

Saat itu aku belum mengenal istilah, cinta monyet, aku hanya mengenal gadis itu cantik dan aku suka, darimana aku mengenal cantik? Entahlah aku tidak menyadarinya kedatangan cantik dalam kosakataku, aku hanya menyadari kalau aku tertarik dengan lawan jenis dari senyumnya, saat itu. Atau cantik adalah sebuah senyuman?

Aku masuk SMP yang sama dengan Winda, saat berpapasan di kantin atau ia lewat di depan kelasku, aku dan dia selalu bertukar senyum, senyumnya selalu membuatku bahagia. Sampai aku tahu ia telah berpacaran dengan teman sekelasnya, aku dan dia masih saling bertukar senyum. Senyumnya yang membuatku bahagia semakin lama semakin biasa, tidak ada yang menarik sejak aku mengingat-ingat kalau dia sudah berpacaran.

Aku diberitahu temanku yang berbeda kelas denganku jika teman sekelasnya ada  seorang gadis cantik anak Lurah. Namanya Anies, selama masa MOS (masa orientasi siswa) aku hanya mencuricuri pandang padanya. Saat Persami (perkemahan sabtu minggu) aku memberanikan diri berkenalan dengannya, ia menyambut ramah ajakan perkenalanku,  aku dan dia mulai tanya jawab asalusul sekolahannya dulu. Ingatanku mengulas masa lalu saat kelas lima SD pada sebuah pesta ulang tahun tetanggaku,  setelah mengetahui darinya kalau dia dulu bersekolah di sekolahan yang sama dengan tetanggaku.

Aku menanyakan padanya, apakah dulu ia pernah menghadiri ulangtahun Mbak Nia, tetanggaku yang rumahnya tepat dibelakang rumahku, aku semakin yakin jika Anies adalah gadis yang dulu kukenal saat menghadiri ulangtahun tetanggaku, saat ia memberi tahu bahwa ia hadir dalam pesta ulangtahun itu, yang menunggu jemputan orangtuanya seusai pesta ulangtahun. Dua hari mengikuti Persami hubunganku dengan Anies semakin akrab walau saling mengejek, saat ia mendapat kiriman makanan dari orangtuanya selalu ia berbagi denganku lalu kubagi lagi dengan temantemanku.

Selama dua minggu hubunganku dengan Anies  seperti biasa, saling mengejek dan berbagi makanan saat jam istirahat sekolah, temantemanku menyoraki Anies saat Anies melintas didepanku, aku hanya bisa tersenyum malumalu sementara Anies berpurapura marah.

Hari Kamis jam istirahat pertama aku duduk di pinggiran mushola bersama temanteman, Anies melintas di depanku dan temantemanku menyorakinya, aku sangat terkejut dan malu saat ia berkata, “Daripada kawin dengan .... lebih baik kawin dengan Gendruwo,” katanya sambil lalu dengan nada marah. Aku bingung kenapa ia berkata seperti itu, “Eh ..., Anies kenapa tuh, kok tumben galak begitu?” tanya seorang temanku yang keheranan sepertiku.

Jam istirahat ke dua, aku menanyakan kepada temannya yang dulu temanku sekelas saat SD, menurutnya aku telah mengirim sebuah surat yang senonoh kepadanya, aku bingung sebab aku tidak pernah mengirim surat kepada Anies, “Mendingan kamu tanya sama Wikan, dia yang tadi ngasih surat ke Anies.” Kata temanku, aku bergegas mencari Wikan saat itu ia sedang duduk di dalam kelas, “Maksudmu apaan, ngirim surat ke Anies?” tanyaku dengan nada marah, surat itu dari Andri temanku sekelas yang mengatasnamakanku, setelah Wikan menjelaskan dan menunjukan surat yang disobeksobek dan dibuang ke tempat sampah oleh Anies. Aku hanya menerima kenyataan itu dengan diam, kalaupun marah aku gak akan berani sebab badan Andri lebih besar daripada aku.

Aku tertarik dengan seorang gadis dari kelas 2B, Dian, sekilas aku melihat namanya yang tertera di seragam. Saat kelasku mendapat giliran untuk mengoreksi Lembar Kerja Siswa kelas 2B, aku memberi tahu temanku, siapa yang memegang Lembar Kerja Siswa bernama Dian, untuk ditukar dengan Lembar Kerja Siswa yang kupegang. Aku membenarkan yang salah di Lembar Kerja Siswa Dian, sampai ia mendapat nilai 9,5.

Saat SMP aku ikut aktif ekstrakuler Patroli Keamanan Sekolah,  Aku terkejut saat membaca nama, Dian, yang tertera di seragamnya, Dian adalah teman sekelas gadis yang kusukai yang juga ikut aktif ekstrakulikuler Patroli Keamanan Sekolah. Di kelas 2B hanya ada dua siswa yang namanya diawali Huruf D, kalau bukan Dian berarti gadis itu bernama Dany, yang membuatku tertarik ingin selalu melihatnya saat jam istirahat dan setiap pukul lima sore,  “Ternyata yang kukoreksi dulu bukan punya Dany,” gumamku dalam hati, sampai sekarang Dian belum tahu kalau akulah yang membenarkan jawaban di Lembar Kerja Siswanya dan si gadis itu sampai sekarang belum tahu kalau aku tertarik dengannya.

Setiap libur sekolah, aku selalu menghabiskan waktu libur di rumah nenek di lereng gunung Lawu. Kelas dua SMP saat liburan cawu ke dua, aku tertarik dengan seorang gadis yang tinggal di lereng gunung Lawu, namanya Tuti, gadis itu memiliki senyum yang manis. Aku mengingatnya saat pagipagi ia mengenakan seragam SMP pergi ke rumahku, untuk menyampaikan sesuatu  kepada bapakku, ternyata aku dan dia mempunyai ketertarikan yang sama, aku hanya bisa memendamnya dan menikmati ketertarikanku padanya dalam hati, sebab aku tidak berani bercengkrama dengan wanita.

Lebaran sore hari, setelah membeli kerupuk untuk makan malam, Ibu memanggilku, ada seseorang yang menelponku, “siapa yang menelponku?”  tanyaku dalam hati. Setelah aku menanyakan siapa pemilik suara diujung telpon, ia memberi tahu kalau dia adalah Sukini, “ini ..., ada yang mau ngomong denganmu.” Tanpa menanyakan siapa, dengan segera terdengar suara dari ujung telpon memberi tahu kalau ia adalah Tuti,Tuti orangnya pemalu sama sepertiku, ia menelpon dari sebuah wartel di kota yang jaraknya 18 km dari rumahnya sebab alat komunikasi saat itu masih jarang, ia hanya mengucapkan selamat lebaran dan menanyakan apakah aku bersedia menjadi kekasihnya, dengan gembira aku ingin menjawabnya, “Ia aku mau menjadi pacarmu,” namun kuurungkan niatku karena malu sebab ada bapak dan ibu sedang nonton televisi, “iya aku mau.” Jawabku dengan pelan. Tidak lama setelah mengatakan itu, aku berkata, untuk menyudahi teleponnya, aku beralasan kalau nanti bayarnya mahal, namun itu hanya kepurapuraanku sebab aku bingung apa yang ingin aku obrolkan dengannya.

Perasaanku pada Tuti antara ada dan tiada, kadang muncul saat aku merasa kesepian, dan sama sekali tidak muncul jika aku mengingat si gadis pengendara sepeda motor pukul lima.
(belum berakhir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar