Kapan Anda menyadari datangnya
ketertarikan Anda terhadap lawan jenis? Kelas empat SD aku sudah tertarik
dengan seorang gadis pindahan dari sekolah lama, sekolah barunya bersebelahan
dengan sekolahanku. Gadis itu bernama Mila, rumahnya seratus meter dari
rumahku, anak dari seorang pegawai perhutani, wajahnya cantik. Ketertarikanku
dengannya hanya dua minggu saja, setelah itu seperti biasa, tidak ada lagi
sebuah perasaan yang membuatku begitu ingin melihatnya terus dan terus seperti
awal pertama aku mengetahui kehadirannya.
Aku bangga dengan kemampuan daya
ingatku untuk mengingat kejadiankejadian masa lalu, yang penting maupun tidak
penting, berkesan dan tidak berkesan. Sebuah anugerah yang harus kurawat dan
kusyukuri agar bisa menyimpan kejadiankejadian yang pernah kulalui sebelum
kutuliskan, sebab suatu saat aku tidak tahu jika tibatiba ingatanku tidak lagi
tajam dan mudah lupa, dengan apa aku mengingatnya lagi jika bukan dari sebuah
kejadian yang kutuliskan? Dengan apa lagi kisahkisah bisa hidup lama dari usia
manusia jika bukan dari yang kutuliskan?
Kelas lima SD, aku mewakili sekolahanku
mengikuti lomba cerdas cermat bidang Matematika tingkat Kawedanan yang diadakan
di sekolahan yang bersebelahan dengan sekolahku. Pusing? Dengan cepat aku
mengerjakan soalsoal yang dilombakan, sebab seorang perwakilan dari sekolahan
yang sekolahannya dijadikan lokasi lomba yang duduk di belakangku mendapat
bantuan jawaban dari pengawas lomba yang tak lain guru dari sekolahan yang
sekolahannya dijadikan lokasi lomba. Pusing? Lembar jawaban sudah kukumpulkan
lalu aku dipersilahkan keluar ruangan untuk menunggu yang lainnya sampai
selesai dan sampai pengumuman juara.
Aku duduk di lantai, di luar
ruangan lomba, aku melihat dua orang gadis sedang bermain di bawah pohon Beringin,
seorang temannya berambut keriting lari masuk ke dalam ruang kelas yang tidak
dipakai untuk ruang lomba karena ketakutan melihat ulat yang berada
digenggaman seorang temannya gadis
berambut lurus pendek. Apa yang mendorongku untuk ikut bermain bersama mereka,
aku tidak tahu, aku mengambil ulat berwarna hitam dari sebuah tangkai bunga
lalu kutunjukan kepada si gadis berambut lurus pendek, “Kamu takut dengan ulat
ini?” tanyaku padanya sambil membuka genggamanku. Ia menjerit lalu kabur ke
dalam ruangan yang sama dengan temannya yang kabur tadi, lalu menutup pintunya
sambil melihatku dari sebuah jendela kaca. Aku pun menggodanya dengan
berpurapura membuang ulat yang kugenggam lalu berjalan mendekati ruangannya, ia
pun keluar dari ruangan, namun setelah kuperlihatkan ulat yang masih berada di
tanganku ia pun kembali masuk dan menutup pintunya rapatrapat, aku pun tertawa.
Aku sudah membuang ulat itu pada sebuah pot bunga, memperlihatkan telapak
tanganku kepada si gadis berambut lurus pendek, yang melihatku dari sebuah
jendela sambil tersenyum yang tak bisa kuartikan arti senyumannya, ia keluar
sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Namanya Winda, duduk di bangku
kelas enam, rumahnya seratus meter ke arah barat dari rumah nenekku.
Perkenalanku dengannya sesingkat
itu, apakah itu sebuah kesan? Sejak saat itu aku tidak lagi bermain dengannya,
aku selalu mencari keberadaanya, entah apa yang kucari darinya, namun aku
selalu senang saat melihat ia tersenyum padaku, setiap pagi aku menunggunya
melintas di pintu gerbang sekolahannya agar bisa melihat senyumnya.
Sejak ia menjadi siswa SMP, aku
hanya bisa melihatnya tersenyum saat ia berangkat ke sekolah.
Saat itu aku belum mengenal
istilah, cinta monyet, aku hanya mengenal gadis itu cantik dan aku suka,
darimana aku mengenal cantik? Entahlah aku tidak menyadarinya kedatangan cantik
dalam kosakataku, aku hanya menyadari kalau aku tertarik dengan lawan jenis
dari senyumnya, saat itu. Atau cantik adalah sebuah senyuman?
Aku masuk SMP yang sama dengan Winda,
saat berpapasan di kantin atau ia lewat di depan kelasku, aku dan dia selalu bertukar
senyum, senyumnya selalu membuatku bahagia. Sampai aku tahu ia telah berpacaran
dengan teman sekelasnya, aku dan dia masih saling bertukar senyum. Senyumnya yang
membuatku bahagia semakin lama semakin biasa, tidak ada yang menarik sejak aku
mengingat-ingat kalau dia sudah berpacaran.
Aku diberitahu temanku yang
berbeda kelas denganku jika teman sekelasnya ada seorang gadis cantik anak Lurah. Namanya
Anies, selama masa MOS (masa orientasi siswa) aku hanya mencuricuri pandang
padanya. Saat Persami (perkemahan sabtu minggu) aku memberanikan diri
berkenalan dengannya, ia menyambut ramah ajakan perkenalanku, aku dan dia mulai tanya jawab asalusul sekolahannya
dulu. Ingatanku mengulas masa lalu saat kelas lima SD pada sebuah pesta ulang
tahun tetanggaku, setelah mengetahui
darinya kalau dia dulu bersekolah di sekolahan yang sama dengan tetanggaku.
Aku menanyakan padanya, apakah
dulu ia pernah menghadiri ulangtahun Mbak Nia, tetanggaku yang rumahnya tepat dibelakang
rumahku, aku semakin yakin jika Anies adalah gadis yang dulu kukenal saat
menghadiri ulangtahun tetanggaku, saat ia memberi tahu bahwa ia hadir dalam
pesta ulangtahun itu, yang menunggu jemputan orangtuanya seusai pesta
ulangtahun. Dua hari mengikuti Persami hubunganku dengan Anies semakin akrab
walau saling mengejek, saat ia mendapat kiriman makanan dari orangtuanya selalu
ia berbagi denganku lalu kubagi lagi dengan temantemanku.
Selama dua minggu hubunganku
dengan Anies seperti biasa, saling
mengejek dan berbagi makanan saat jam istirahat sekolah, temantemanku menyoraki
Anies saat Anies melintas didepanku, aku hanya bisa tersenyum malumalu
sementara Anies berpurapura marah.
Hari Kamis jam istirahat pertama
aku duduk di pinggiran mushola bersama temanteman, Anies melintas di depanku
dan temantemanku menyorakinya, aku sangat terkejut dan malu saat ia berkata,
“Daripada kawin dengan .... lebih baik kawin dengan Gendruwo,” katanya sambil lalu
dengan nada marah. Aku bingung kenapa ia berkata seperti itu, “Eh ..., Anies kenapa
tuh, kok tumben galak begitu?” tanya seorang temanku yang keheranan sepertiku.
Jam istirahat ke dua, aku
menanyakan kepada temannya yang dulu temanku sekelas saat SD, menurutnya aku
telah mengirim sebuah surat yang senonoh kepadanya, aku bingung sebab aku tidak
pernah mengirim surat kepada Anies, “Mendingan kamu tanya sama Wikan, dia yang
tadi ngasih surat ke Anies.” Kata temanku, aku bergegas mencari Wikan saat itu
ia sedang duduk di dalam kelas, “Maksudmu apaan, ngirim surat ke Anies?”
tanyaku dengan nada marah, surat itu dari Andri temanku sekelas yang mengatasnamakanku,
setelah Wikan menjelaskan dan menunjukan surat yang disobeksobek dan dibuang ke
tempat sampah oleh Anies. Aku hanya menerima kenyataan itu dengan diam,
kalaupun marah aku gak akan berani sebab badan Andri lebih besar daripada aku.
Aku tertarik dengan seorang gadis
dari kelas 2B, Dian, sekilas aku melihat namanya yang tertera di seragam. Saat kelasku
mendapat giliran untuk mengoreksi Lembar Kerja Siswa kelas 2B, aku memberi tahu
temanku, siapa yang memegang Lembar Kerja Siswa bernama Dian, untuk ditukar
dengan Lembar Kerja Siswa yang kupegang. Aku membenarkan yang salah di Lembar
Kerja Siswa Dian, sampai ia mendapat nilai 9,5.
Saat SMP aku ikut aktif ekstrakuler
Patroli Keamanan Sekolah, Aku terkejut
saat membaca nama, Dian, yang tertera di seragamnya, Dian adalah teman sekelas
gadis yang kusukai yang juga ikut aktif ekstrakulikuler Patroli Keamanan
Sekolah. Di kelas 2B hanya ada dua siswa yang namanya diawali Huruf D, kalau
bukan Dian berarti gadis itu bernama Dany, yang membuatku tertarik ingin selalu
melihatnya saat jam istirahat dan setiap pukul lima sore, “Ternyata yang kukoreksi dulu bukan punya
Dany,” gumamku dalam hati, sampai sekarang Dian belum tahu kalau akulah yang
membenarkan jawaban di Lembar Kerja Siswanya dan si gadis itu sampai sekarang belum
tahu kalau aku tertarik dengannya.
Setiap libur sekolah, aku selalu
menghabiskan waktu libur di rumah nenek di lereng gunung Lawu. Kelas dua SMP
saat liburan cawu ke dua, aku tertarik dengan seorang gadis yang tinggal di
lereng gunung Lawu, namanya Tuti, gadis itu memiliki senyum yang manis. Aku
mengingatnya saat pagipagi ia mengenakan seragam SMP pergi ke rumahku, untuk
menyampaikan sesuatu kepada bapakku,
ternyata aku dan dia mempunyai ketertarikan yang sama, aku hanya bisa
memendamnya dan menikmati ketertarikanku padanya dalam hati, sebab aku tidak
berani bercengkrama dengan wanita.
Lebaran sore hari, setelah
membeli kerupuk untuk makan malam, Ibu memanggilku, ada seseorang yang
menelponku, “siapa yang menelponku?”
tanyaku dalam hati. Setelah aku menanyakan siapa pemilik suara diujung
telpon, ia memberi tahu kalau dia adalah Sukini, “ini ..., ada yang mau ngomong
denganmu.” Tanpa menanyakan siapa, dengan segera terdengar suara dari ujung
telpon memberi tahu kalau ia adalah Tuti,Tuti orangnya pemalu sama sepertiku,
ia menelpon dari sebuah wartel di kota yang jaraknya 18 km dari rumahnya sebab
alat komunikasi saat itu masih jarang, ia hanya mengucapkan selamat lebaran dan
menanyakan apakah aku bersedia menjadi kekasihnya, dengan gembira aku ingin
menjawabnya, “Ia aku mau menjadi pacarmu,” namun kuurungkan niatku karena malu sebab
ada bapak dan ibu sedang nonton televisi, “iya aku mau.” Jawabku dengan pelan.
Tidak lama setelah mengatakan itu, aku berkata, untuk menyudahi teleponnya, aku
beralasan kalau nanti bayarnya mahal, namun itu hanya kepurapuraanku sebab aku
bingung apa yang ingin aku obrolkan dengannya.
Perasaanku pada Tuti antara ada
dan tiada, kadang muncul saat aku merasa kesepian, dan sama sekali tidak muncul
jika aku mengingat si gadis pengendara sepeda motor pukul lima.
(belum berakhir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar