Selasa, 10 September 2013

Rumah Sakit


Ia sering bepergian tengah malam,  mandi hujan,  menginap di hutan, ia pernah tinggal di lereng gunung selama empat tahun. Sebelum bulan Januari 2013 ia tidak pernah kedinginan atau merasa dingin, kedinginan dan merasa dingin adalah dua hal yang berbeda, bukan begitu?

Subuh itu ia tidur di atas sebuah meja dari kayu jati berwarna coklat muda yang dilapisi karpet berwarna biru yang warnanya telah pudar. “Tumben hari ini sangat dingin sekali.” Gumamnya dalam hati, saat ia terbangun karena kedinginan. Ia lalu membungkus tubuhnya dengan karpet alasnya untuk tidur. Namun, ia tetap kedinginan.


Ia pun turun dari tempat tidur lalu mengenakan jaket jeans berwarna biru tua untuk membuat segelas teh hangat, dengan itu ia berpikir kedinginan yang ia rasakan segera hilang.

Ia tidak kedinginan sejak ia duduk pada sebuah kursi sambil menikmati teh yang ia bikin. Subuh itu masih sepi, sesekali hanya suara sepeda motor yang terdengar melintas di depan rumahnya. “Kamu kenapa?” tanya Bapak saat keluar dari kamar, “Saya tidak apa-apa Pak.” Jawabku. Bapak lalu melangkah ke dapur. “Sepertinya ia hendak ke kamar mandi.” Tebakku dalam hati.

Ia masih duduk di sebuah kursi saat bapaknya kembali dari kamar mandi, “Kalau masuk angin, minta kerokan sama Ibu.” Kata bapak sambil menyingkap gorden pintu berwarna merah tua lalu masuk ke kamarnya. “ya,” jawabku menggampangkan perintahnya. “Aku tidak masuk angin, mungkin cuacanya yang`sedang dingin.” Bantahku dalam hati. Tidak lama kemudian, Ibu keluar dari kamar sepertinya ia juga hendak ke kamar mandi sambil menawarkan untuk mengerik tubuhku, namun aku menolaknya sebab aku yakin kalau tidak masuk angin, lagi pula aku sudah tidak kedinginan.

Semua yang datang pasti akan pergi, dalam beberapa hal akan datang kembali dengan suasana, takaran rasa dan kejadian yang berbeda. Adakah seseorang yang bisa mengukur rasa? Dingin yang sudah pergi telah kembali sejak segelas teh hangat telah habis ia minum. Ia menyerah pada kedinginan dan mengakui kalau masuk angin lalu membangunkan ibu untuk mengerik tubuhnya, “Bu kerokin, sepertinya aku masuk angin.” Kataku dengan muka serius. “tadi ditawari tidak mau.” Jawab Ibu sedikit marah. Aku diam dengan muka serius karena malu, sebenarnya saat itu ingin tertawa mengingat penolakan untuk dikerik tadi.

“Makanya kalau dinasehatin orangtua itu jangan ngeyel, kalau tidur jangan larut malam.” Kata ibu yang sedang mengerik punggungku. “apa coba hubungannya,” gumamku dalam hati keheranan. Sesekali aku mengaduh saat dikerik sebab jarang sekali tubuhku dikerik saat masuk angin, padahal ini adalah caraku untuk menghindar dari nasehatnasehatnya.

Tubuhku kembali hangat setelah dikerik, aku pun tidur dikamar setelah kamarku dirapikan oleh ibu lalu menyelimuti tubuhku dengan selimut tiga lapis. Tiba-tiba aku merasa mual dan ingin muntah, dengan segera aku lari menuju kamar mandi, selalu berulang seperti itu sampai Ibu menaruh sebuah ember di kamar, katanya agar aku tidak perlu bolakbalik ke kamar mandi. “Sepertinya Maghku kambuh.” Kataku dalam hati, dan masih muntah berkali-kali sampai tubuhku terasa lemas. Subuh itu aku tidak berdaya, sambil rebahan aku melihat cairan kental berwarna kuning, dan muntah kembali. “Bu ada obat magh, sepertinya maghku kambuh.” Kataku sambil merintih menahan perih dalam perut.

Ibu pergi ke rumah Om dan Tante yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku untuk membeli obat magh. Om-ku seorang satpam di kantor telekomunikasi dan tanteku ibu rumah tangga yang kesehariannya menjaga toko.  Ibu datang dengan om-ku tanpa membawa obat magh. Mereka membujukku agar mau dibawa ke PKU cabang dekat rumah.

Setelah diperiksa suster di PKU aku dibawa ke tempat dokter praktek  sebab setelah diberi obat oleh suster di PKU mualmuntah tak juga berhenti. Dua tempat pengobatan yang kudatangi tidak juga membuat mualmuntahku berhenti. Akhirnya aku dirawat inap di PKU cabang oleh persetujuan Ibu.

Dua hari aku menginap di PKU, teman-teman dan tetangga silih berganti menjenguk. Aku tidak lagi mual dan tidak doyan makan. Pagi pukul lima, perutku serasa ditusuktusuk sebuah jarum dan nafasku terasa sesak seperti ada beban seratus kilogram yang ditaruh di atas dadaku. Dokter yang pagi itu sudah datang menyarankan agar aku dirujuk ke RSUD, katanya aku sakit kholiq, aku tidak tahu kholiq itu penyakit macam apa. Pagi itu pula aku dibawa ke RSUD dan di rawat lima hari di sana.

Penanganan dokter dan perawatan di RSUD dan PKU cabang tidak ada bedanya, tiga kali dalam satu hari, disuntikkan sebuah obat melalui saluran infus yang menempel di pergelangan tangan dan sebuah obat berbentuk kapsul seukuran ibu jari dimasukkan melalui dubur.

Di RSUD aku mendapat penanganan yang berbeda dari pasien lainnya, sebab aku tidak memakai kartu jamkesmas. Beberapa pasien yang sudah ada di ruang periksa menunggu giliran untuk diperiksa, setelah ibu menyelesaikan administrasi aku didahulukan untuk diperiksa dokter, “bagaimana dengan mereka, yang sudah mengantri lama?” tanyaku dalam hati dan kujawab sendiri, “Bodo amat, yang penting aku sembuh.”

Sabtu siang aku diijinkan pulang. Dokter yang menanganiku yang juga memberi ijin pulang setelah melunasi adminsitrasi memintaku untuk di USGpada hari Senin di RS PKU tempatnya praktek selain RSUD.

Senin pagi aku berangkat ke RS PKU bersama ibu menggunakan pick-up diantar seorang sopir, tidak terlalu lama aku harus menunggu untuk di USG. Di atas perutku di letakkan sebuah alat yang tersambung dengan komputer yang digerak-gerakan dokter. “ini ada penyumbatan saluran ginjal di kanan dan kiri, di sini kami tidak mempunyai alat untuk melakukan operasi, kalau berkenan nanti akan saya buatkan surat rujukan ke RS Bojonegoro yang mempunyai alat komplit untuk melakukan operasi.” Seketika aku lemas mendengarnya, perasaanku hancur mengetahui hidupku yang tidak akan lama lagi berakhir, aku hanya bisa diam tertunduk sambil memakimaki diri sendiri karena mengingat gaya hidupku yang sangat cuek dengan kesehatan, “bagaimana Bu?” tanya dokter kepada ibu, aku melihat kearah ibu ada kesedihan yang tampak diwajahnya. Ibu bertanya padaku, apa aku mau di operasi di RS Bojonegoro, karena sudah tahu hidupku tidak akan lama lagi, aku menolaknya dengan tutur kata yang sangat halus, aku tidak mau membuatnya bersedih lagi. “Pulang saja Bu, rawat aku di rumah seperti biasa.”

Dalam perjalanan pulang, ibu masih memintaku agar mau dioperasi, aku tetap menolaknya bahkan dengan nada keras. “Sudahlah aku tidak mau ya tidak mau, rawat saja aku di rumah seperti biasa, kalau tidak mau merawat biarkan aku pergi dari rumah.” Aku berkata dengan pandangan kosong ke depan dengan mimik muka marah yang berbalut sedih, menyesal dan kecewa.

Siang itu sesampai di rumah, aku mendengar suara ibu yang sedang menelpon temannya untuk dibawakan ramuan tradisional berupa daun-daun keji batu, keji beling dan kumis kucing. Aku hanya tahu daun kumis kucing atau putri malu, ramuan-ramuan itu dipercaya bisa mengobati penyumbatan saliran ginjal dan kencing batu. Satu hari sekali aku harus meminum ramuan yang dibuat dengan cara merebus dicampur dua gelas belimbing air putih, rasanya sangat pahit, ingin sekali aku muntah setelah meminumnya. Beberapa saat setelah meminum ramuan itu, aku buang air kecil di toilet sambil berteriak, “Bangsaaaaaaaaaat.” Air seni yang kukeluarkan sangat pedih seperti ada silet yang menggores saluran kencing.

Malam itu, ibu bapak dan beberapa pak dhe yang berkunjung ke rumah menyarankan agar aku dibawa ke RS yang pengobatannya lebih maju dengan teknologinya yang canggih. Setelah pak dhe pulang, ibu masuk ke dalam kamarku dan bertanya, maukah aku jika dibawa ke RS Moewardi hanya untuk diperiksa, aku meng-iya-kan dengan syarat, hasil rongten dan USG tidak usah dibawa dan jangan bilang kalau aku pernah di rawat di RSUD jika nanti diperiksa di sana. Ibu menerima syaratku setelah aku menjelaskan panjang lebar, “kalau nanti membawa hasil dari RSUD, takutnya dokter di sana hanya akan mengikuti hasil dari dokter RSUD.”

Aku berangkat pukul delapan pagi, menyewa sebuah mobil dan sopir untuk mengantar ke Solo. Hari itu aku terlambat chek-in sebab tiba di RS Moewardi pukul tiga sore, klinik Cendana yang dipakai untuk memeriksa pasien sudah menutup pendaftaran. Ibu dan bapak meminta sopir untuk mengantar ke rumahnya di lereng gunung lawu.

Malam hari di Solo aku diajak Bapak dan Ibu ke rumah “orang pintar” untuk melihat apakah aku disantet oleh orang yang membenciku. Sebab menurut ibu dan bapak aku orang yang sangat sarkas dan frontal melawan sesuatu yang merugikan orang banyak, pastilah banyak yang membenciku. Ini hanya ketakutan mereka berdua, sebenarnya aku enggan saat diajak ke rumah ”orang pintar.”  “masa masih percaya yang begituan, siapa pula yang tahu jika aku memang disantet orang lain” gumamku dalam hati, aku menurut saja sekedar ingin tahu kebenarannya. Setelah si orang pintar  berkomatkamit, ia meniup sebuah gelas yang berisi air putih beberapa kali, dan memintaku untuk meminumnya. Si orang pintar itu melanjutkan ritualnya lagi dengan menggerakgerakkan tanganya di hadapanku, aku membiarkannya sambil melihatlihat isi rumahnya. “Oh dia suka seni.” Kataku dalam hati saat melihat dua lukisan yang dipajang di dinding rumahnya, “sepertinya lukisan perang, jaman kerajaan,” kataku dalam hati sambil mengamati lukisan. Ada  beberapa orang dalam lukisan memakai aksesoris jaman kerajaan yang pernahku lihat di filemfilem serial dan wayang.

“putra anda tidak apaapa, tidak ada yang mengganggunya.” Kata si orang pintar, “hanya ada penyumbatan diususnya, seperti terjepit.” Si orang pintar terus menjelaskan pengobatan apa yang harus dilakukan, ia meminta pada ibu dan bapak untuk membakarkan sebuah kelapa muda yang sudah di potong atasnya dan dicampur dengan, (aku lupa). “kalau besok harus diperiksa, ya periksakan saja di puskesmas atau di rumah sakit.” Setelah berbasabasi, aku dan kedua orangtuaku berpamitan sambil menyerahkan sebuah amplop kepadanya, sebagai tanda terima kasih.

Pukul tujuh pagi dengan menyewa sebuah angkot (angkutan kota) aku diantar ke rumah sakit. Lama aku menunggu antrian perutku terasa sakit karena menahan kentut, sebab kalau kentut aku takut kotorannya ikut keluar, yang sering terjadi beberapa minggu ini selama sakit. Entah sudah berapa kali, inginnya kentut malah buang air besar di celana. Pukul sebelas siang aku diperiksa seorang dokter ahli penyakit dalam, setelah rebahan di sebuah tempat tidur diketuknya perutku beberapa kali. “putra anda harus diopname disini Bu, semoga saja tidak ada penyumbatan saluran pencernaanya. Nanti setelah di USG akan diketahui penyakitnya.” Kata dokter setelah memeriksaku, aku mendengarkannya sambil mengutukngutuki dokter yang memvonis penyumbatan saluran ginjal, “Dokter tolol.” makiku dalam hati dengan perasaan bahagia sebab hanya ada penyumbatan di saluran pencernaan dan tahu bahwa aku masih bisa merayakan kehidupan yang penuh dengan kejutankejutannya dengan suka cita.

“Ibu mau putranya di rawat di ruang cendana atau di ruang yang lain?” kata seorang petugas yang bertanya pada ibu saat mengantri ruangan untukku dirawat inap, “Bedanya apa Pakm ruang cendana dengan yang lain?” Tanya ibu pada petugas. Petugas itu menjelaskan jika dirawat di ruang lain, dokter ahlinya tidak menangani secara langsung, di sana hanya ditangani dokter umum dan perkembangan pasien akan dilaporkan ke dokter ahli, tapi jika dirawat di ruang cendana, setiap hari akan dikontrol dokter ahli langsung. Aku mendengarkan sambil mengamati lalulalang orang yang sedang berobat. “kalau di ruang cendana memang mahal, tapi harus antri sebab ruangannya penuh dan salah seorang pasien yang akan keluar hari ini sedang mengurusi administrasi.” Pukul empat sore aku masuk ruangan cendana, aku lupa nomor berapa, di ruang itu aku bersebelahan dengan seorang kakek yang selesai di operasi pantatnya (aku lupa nama penyakitnya).

“Si orang pintar itu memang pintar, tanpa menyentuhku dia bisa tahu apa penyakitku seperti yang dikatakan dokter ahli kepadaku,” gumamku dalam hati sambil rebahan di ranjang rumah sakit yang ketiga kalinya dalam sebulan. Apakah aku masih meragukan kemampuan seseorang yang mempunyai ilmu yang belum terjangkau nalar setelah mengalami ini?

Malam di rumah sakit solo tidak jauh berbeda dengan malam di RSUD daerahku, bedanya hanya ada televisi kabel dan tidak, obatnya pun sama dengan yang siberikan di RSUD daerahku, lagi-lagi duburku dimasuki obat yang sama dengan obat waktu di RSUD daerahku. “Aku Bisa jadi gay nih Bu,” kataku pada ibu yang sedang duduk menungguku sambil menonton televisi. “Hust ngawur.” Jawabnya. Aku pun tertawa sambil melihat mimik muka ibu yang kaget dengan apa yang kuucapkan.

Sejak menginap di beberapa rumah sakit, bangunku dari tidur selalu pagi, pukul lima. Seorang dokter yang memasuki ruanganku berbeda dengan dokter yang memeriksaku kemarin. “kok berbeda?” Tanyaku dalam hati dan menemukan jawaban setelah tahu dokter itu memeriksa pasien disebelahku, tidak lama setelah memeriksa pasien disebelahku, dokter itu memperkenalkan diri kepadaku sebagai dokter ahli bedah, aku terkejut setelah mendengarnya, apa dia juga akan memeriksaku, “apa aku akan dioperasi?” tanyaku dalam hati. Dia adalah dokter ahli bedah yang diminta dokter ahli penyakit dalam untuk memeriksaku, apakah aku harus dioperasi atau tidak. Setelah dokter ahli bedah menjelaskan caranya memeriksa,  enggan rasanya untuk menerima cara yang akan dia pakai untuk memeriksa yang membuatku tidak nyaman, jika bukan karena ingin sembuh. Dengan memakai sarung tangan yang terbuat dari karet si dokter ahli bedah memasukkan jarinya kedalam duburku, terasa sekali jarinya menyentuh bagian dalam dubur, ia menggerakan jarinya kekanan dan kekiri setelah dimasukkan melalui duburku, “bangsat, aku bisa jadi gay beneran.” Teriakku dalam hati. Sambil memasukkan jarinya si dokter bertanya, “sakit gak mas?”. Dengan meringis aku menjawab. “Sakit Dok, sakit.”

“Sesegera mungkin anak ibu harus dioperasi setelah menandatangni beberapa persyaratan dan persetujuan, bagaimana?” tanya dokter kepada ibu, namun ibu melemparkan jawaban kepadaku, aku menjawabnya dengan biasabiasa saja toh bukan operasi ginjal, “ya terserah ibu saja, aku akan anak yang mematuhi perintah orang tua.” Jawabku pada ibu sambil menggumam dalam hati “kadangkadang,”

Ibu setuju jika aku harus dioperasi, setengah sembilan aku dipersiapkan untuk dioperasi, “Mas, sudah siap ya, isi perutnya harus dikosongkan, tadi belum makan kan?” tanya seorang perawat sambil membawa sebuah selang sebesar jari manis yang akan dimasukkan kedalam tubuh melalui hidung sampai ke lambung, katanya, untuk mengeluarkan cairan atau isi dalam perut. Aku seperti sedang sakaratulmaut saat selang itu mulai masuk hidung, aku mengejang sambil mengangkat kakikakiku ke atas, memuntahkan cairan berwarna kuning melalui mulut, saat itu aku merasa seperti ayam dan kambing yang baru disembelih. Setelah selesai memasukkan selang itu aku melihat cairan berwarna kuning mengalir melalui selang sambil melihat wajah ibu yang entah ketakutan atau menyedihkan melihat apa yang baru saja dilihatnya.

Selang ini menggangguku bernafas dan tenggorokan saat aku menelan air liur, “ah betapa menyebalkan, untuk berbicara pun susah.” Gumamku dalam hati saat aku dibawa menuju ruang operasi.

Aku memasuki sebuah ruangan, ada tujuh orang yang berpakain berwarna hijau muda, mereka semua menutup mulutnya dengan masker. Aku direbahkan pada sebuah ranjang di atasnya ada semacam lampu besar sekitar setengah meter diameternya, beberapa orang yang berpakaian hijau muda itu berlalulalang menyiapkan keperluan operasi, seseorang yang tidak kulihat wajahnya menanyakan siapa diriku, dan tentangku, “Mas sudah siap?” tanyanya tibatiba, sambil mengamati seseorang yang sedang memusukkan sebuah jarum infus di tanganku, aku menjawabnya “Ya, mas, saya siap.” Semuanya menjadi gelap.

“Di mana aku, kenapa ruangannya berbeda dengan yang tadi.” tanyaku dalam hati. kuamati sekitar dengan melirik kanan kiriku hanya ada beberapa tempat tidur dan hanya ada aku, “di mana aku, apa aku sudah mati?” Aku terus melirik melihat sebuah jam di dinding, Sudah setengah satu siang. “Jika aku sudah mati kenapa masih ada waktu yang berdetik?” Aku masih bertanyatanya dalam hati, “apa aku sudah mati? Di mana aku?” Tiba tiba sebuah pintu di depanku terbuka, seorang laki-laki yang mengenakan jas putih mendekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar