Ia sering bepergian tengah
malam, mandi hujan, menginap di hutan, ia pernah tinggal di
lereng gunung selama empat tahun. Sebelum bulan Januari 2013 ia tidak pernah
kedinginan atau merasa dingin, kedinginan dan merasa dingin adalah dua hal yang
berbeda, bukan begitu?
Subuh itu ia tidur di atas sebuah
meja dari kayu jati berwarna coklat muda yang dilapisi karpet berwarna biru
yang warnanya telah pudar. “Tumben hari ini sangat dingin sekali.” Gumamnya
dalam hati, saat ia terbangun karena kedinginan. Ia lalu membungkus tubuhnya
dengan karpet alasnya untuk tidur. Namun, ia tetap kedinginan.
Ia pun turun dari tempat tidur
lalu mengenakan jaket jeans berwarna
biru tua untuk membuat segelas teh hangat, dengan itu ia berpikir kedinginan
yang ia rasakan segera hilang.
Ia tidak kedinginan sejak ia
duduk pada sebuah kursi sambil menikmati teh yang ia bikin. Subuh itu masih
sepi, sesekali hanya suara sepeda motor yang terdengar melintas di depan
rumahnya. “Kamu kenapa?” tanya Bapak saat keluar dari kamar, “Saya tidak apa-apa
Pak.” Jawabku. Bapak lalu melangkah ke dapur. “Sepertinya ia hendak ke kamar
mandi.” Tebakku dalam hati.
Ia masih duduk di sebuah kursi
saat bapaknya kembali dari kamar mandi, “Kalau masuk angin, minta kerokan sama
Ibu.” Kata bapak sambil menyingkap gorden pintu berwarna merah tua lalu masuk
ke kamarnya. “ya,” jawabku menggampangkan perintahnya. “Aku tidak masuk angin,
mungkin cuacanya yang`sedang dingin.” Bantahku dalam hati. Tidak lama kemudian,
Ibu keluar dari kamar sepertinya ia juga hendak ke kamar mandi sambil
menawarkan untuk mengerik tubuhku, namun aku menolaknya sebab aku yakin kalau
tidak masuk angin, lagi pula aku sudah tidak kedinginan.
Semua yang datang pasti akan
pergi, dalam beberapa hal akan datang kembali dengan suasana, takaran rasa dan
kejadian yang berbeda. Adakah seseorang yang bisa mengukur rasa? Dingin yang
sudah pergi telah kembali sejak segelas teh hangat telah habis ia minum. Ia
menyerah pada kedinginan dan mengakui kalau masuk angin lalu membangunkan ibu
untuk mengerik tubuhnya, “Bu kerokin, sepertinya aku masuk angin.” Kataku
dengan muka serius. “tadi ditawari tidak mau.” Jawab Ibu sedikit marah. Aku
diam dengan muka serius karena malu, sebenarnya saat itu ingin tertawa
mengingat penolakan untuk dikerik tadi.
“Makanya kalau dinasehatin
orangtua itu jangan ngeyel, kalau tidur jangan larut malam.” Kata ibu yang
sedang mengerik punggungku. “apa coba hubungannya,” gumamku dalam hati
keheranan. Sesekali aku mengaduh saat dikerik sebab jarang sekali tubuhku
dikerik saat masuk angin, padahal ini adalah caraku untuk menghindar dari
nasehatnasehatnya.
Tubuhku kembali hangat setelah
dikerik, aku pun tidur dikamar setelah kamarku dirapikan oleh ibu lalu menyelimuti
tubuhku dengan selimut tiga lapis. Tiba-tiba aku merasa mual dan ingin muntah,
dengan segera aku lari menuju kamar mandi, selalu berulang seperti itu sampai
Ibu menaruh sebuah ember di kamar, katanya agar aku tidak perlu bolakbalik ke
kamar mandi. “Sepertinya Maghku kambuh.” Kataku dalam hati, dan masih muntah
berkali-kali sampai tubuhku terasa lemas. Subuh itu aku tidak berdaya, sambil rebahan
aku melihat cairan kental berwarna kuning, dan muntah kembali. “Bu ada obat magh,
sepertinya maghku kambuh.” Kataku sambil merintih menahan perih dalam perut.
Ibu pergi ke rumah Om dan Tante
yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku untuk membeli obat magh. Om-ku
seorang satpam di kantor telekomunikasi dan tanteku ibu rumah tangga yang
kesehariannya menjaga toko. Ibu datang
dengan om-ku tanpa membawa obat magh. Mereka membujukku agar mau dibawa ke PKU cabang
dekat rumah.
Setelah diperiksa suster di PKU aku
dibawa ke tempat dokter praktek sebab
setelah diberi obat oleh suster di PKU mualmuntah tak juga berhenti. Dua tempat
pengobatan yang kudatangi tidak juga membuat mualmuntahku berhenti. Akhirnya aku
dirawat inap di PKU cabang oleh persetujuan Ibu.
Dua hari aku menginap di PKU,
teman-teman dan tetangga silih berganti menjenguk. Aku tidak lagi mual dan
tidak doyan makan. Pagi pukul lima, perutku serasa ditusuktusuk sebuah jarum
dan nafasku terasa sesak seperti ada beban seratus kilogram yang ditaruh di
atas dadaku. Dokter yang pagi itu sudah datang menyarankan agar aku dirujuk ke
RSUD, katanya aku sakit kholiq, aku tidak tahu kholiq itu penyakit macam apa. Pagi
itu pula aku dibawa ke RSUD dan di rawat lima hari di sana.
Penanganan dokter dan perawatan
di RSUD dan PKU cabang tidak ada bedanya, tiga kali dalam satu hari,
disuntikkan sebuah obat melalui saluran infus yang menempel di pergelangan
tangan dan sebuah obat berbentuk kapsul seukuran ibu jari dimasukkan melalui
dubur.
Di RSUD aku mendapat penanganan
yang berbeda dari pasien lainnya, sebab aku tidak memakai kartu jamkesmas.
Beberapa pasien yang sudah ada di ruang periksa menunggu giliran untuk
diperiksa, setelah ibu menyelesaikan administrasi aku didahulukan untuk diperiksa
dokter, “bagaimana dengan mereka, yang sudah mengantri lama?” tanyaku dalam
hati dan kujawab sendiri, “Bodo amat, yang penting aku sembuh.”
Sabtu siang aku diijinkan pulang.
Dokter yang menanganiku yang juga memberi ijin pulang setelah melunasi adminsitrasi
memintaku untuk di USGpada hari Senin di RS PKU tempatnya praktek selain RSUD.
Senin pagi aku berangkat ke RS
PKU bersama ibu menggunakan pick-up diantar
seorang sopir, tidak terlalu lama aku harus menunggu untuk di USG. Di atas
perutku di letakkan sebuah alat yang tersambung dengan komputer yang
digerak-gerakan dokter. “ini ada penyumbatan saluran ginjal di kanan dan kiri,
di sini kami tidak mempunyai alat untuk melakukan operasi, kalau berkenan nanti
akan saya buatkan surat rujukan ke RS Bojonegoro yang mempunyai alat komplit
untuk melakukan operasi.” Seketika aku lemas mendengarnya, perasaanku hancur
mengetahui hidupku yang tidak akan lama lagi berakhir, aku hanya bisa diam
tertunduk sambil memakimaki diri sendiri karena mengingat gaya hidupku yang
sangat cuek dengan kesehatan, “bagaimana Bu?” tanya dokter kepada ibu, aku
melihat kearah ibu ada kesedihan yang tampak diwajahnya. Ibu bertanya padaku,
apa aku mau di operasi di RS Bojonegoro, karena sudah tahu hidupku tidak akan
lama lagi, aku menolaknya dengan tutur kata yang sangat halus, aku tidak mau
membuatnya bersedih lagi. “Pulang saja Bu, rawat aku di rumah seperti biasa.”
Dalam perjalanan pulang, ibu
masih memintaku agar mau dioperasi, aku tetap menolaknya bahkan dengan nada keras.
“Sudahlah aku tidak mau ya tidak mau, rawat saja aku di rumah seperti biasa,
kalau tidak mau merawat biarkan aku pergi dari rumah.” Aku berkata dengan
pandangan kosong ke depan dengan mimik muka marah yang berbalut sedih, menyesal
dan kecewa.
Siang itu sesampai di rumah, aku
mendengar suara ibu yang sedang menelpon temannya untuk dibawakan ramuan
tradisional berupa daun-daun keji batu,
keji beling dan kumis kucing. Aku
hanya tahu daun kumis kucing atau putri malu, ramuan-ramuan itu dipercaya bisa
mengobati penyumbatan saliran ginjal dan kencing batu. Satu hari sekali aku
harus meminum ramuan yang dibuat dengan cara merebus dicampur dua gelas
belimbing air putih, rasanya sangat pahit, ingin sekali aku muntah setelah meminumnya.
Beberapa saat setelah meminum ramuan itu, aku buang air kecil di toilet sambil
berteriak, “Bangsaaaaaaaaaat.” Air seni yang kukeluarkan sangat pedih seperti
ada silet yang menggores saluran kencing.
Malam itu, ibu bapak dan beberapa
pak dhe yang berkunjung ke rumah menyarankan agar aku dibawa ke RS yang
pengobatannya lebih maju dengan teknologinya yang canggih. Setelah pak dhe
pulang, ibu masuk ke dalam kamarku dan bertanya, maukah aku jika dibawa ke RS
Moewardi hanya untuk diperiksa, aku meng-iya-kan dengan syarat, hasil rongten dan USG tidak usah dibawa dan
jangan bilang kalau aku pernah di rawat di RSUD jika nanti diperiksa di sana.
Ibu menerima syaratku setelah aku menjelaskan panjang lebar, “kalau nanti
membawa hasil dari RSUD, takutnya dokter di sana hanya akan mengikuti hasil
dari dokter RSUD.”
Aku berangkat pukul delapan pagi,
menyewa sebuah mobil dan sopir untuk mengantar ke Solo. Hari itu aku terlambat
chek-in sebab tiba di RS Moewardi pukul tiga sore, klinik Cendana yang dipakai
untuk memeriksa pasien sudah menutup pendaftaran. Ibu dan bapak meminta sopir
untuk mengantar ke rumahnya di lereng gunung lawu.
Malam hari di Solo aku diajak
Bapak dan Ibu ke rumah “orang pintar”
untuk melihat apakah aku disantet oleh orang yang membenciku. Sebab menurut ibu
dan bapak aku orang yang sangat sarkas dan frontal melawan sesuatu yang
merugikan orang banyak, pastilah banyak yang membenciku. Ini hanya ketakutan
mereka berdua, sebenarnya aku enggan saat diajak ke rumah ”orang pintar.” “masa masih
percaya yang begituan, siapa pula yang tahu jika aku memang disantet orang lain”
gumamku dalam hati, aku menurut saja sekedar ingin tahu kebenarannya. Setelah si
orang pintar berkomatkamit, ia meniup sebuah gelas yang
berisi air putih beberapa kali, dan memintaku untuk meminumnya. Si orang pintar itu melanjutkan ritualnya
lagi dengan menggerakgerakkan tanganya di hadapanku, aku membiarkannya sambil
melihatlihat isi rumahnya. “Oh dia suka seni.” Kataku dalam hati saat melihat
dua lukisan yang dipajang di dinding rumahnya, “sepertinya lukisan perang,
jaman kerajaan,” kataku dalam hati sambil mengamati lukisan. Ada beberapa orang dalam lukisan memakai aksesoris
jaman kerajaan yang pernahku lihat di filemfilem serial dan wayang.
“putra anda tidak apaapa, tidak
ada yang mengganggunya.” Kata si orang
pintar, “hanya ada penyumbatan diususnya, seperti terjepit.” Si orang pintar terus menjelaskan
pengobatan apa yang harus dilakukan, ia meminta pada ibu dan bapak untuk
membakarkan sebuah kelapa muda yang sudah di potong atasnya dan dicampur
dengan, (aku lupa). “kalau besok harus diperiksa, ya periksakan saja di
puskesmas atau di rumah sakit.” Setelah berbasabasi, aku dan kedua orangtuaku
berpamitan sambil menyerahkan sebuah amplop kepadanya, sebagai tanda terima
kasih.
Pukul tujuh pagi dengan menyewa
sebuah angkot (angkutan kota) aku diantar ke rumah sakit. Lama aku menunggu
antrian perutku terasa sakit karena menahan kentut, sebab kalau kentut aku
takut kotorannya ikut keluar, yang sering terjadi beberapa minggu ini selama
sakit. Entah sudah berapa kali, inginnya kentut malah buang air besar di celana.
Pukul sebelas siang aku diperiksa seorang dokter ahli penyakit dalam, setelah
rebahan di sebuah tempat tidur diketuknya perutku beberapa kali. “putra anda
harus diopname disini Bu, semoga saja tidak ada penyumbatan saluran
pencernaanya. Nanti setelah di USG akan diketahui penyakitnya.” Kata dokter
setelah memeriksaku, aku mendengarkannya sambil mengutukngutuki dokter yang
memvonis penyumbatan saluran ginjal, “Dokter tolol.” makiku dalam hati dengan
perasaan bahagia sebab hanya ada penyumbatan di saluran pencernaan dan tahu
bahwa aku masih bisa merayakan kehidupan yang penuh dengan kejutankejutannya
dengan suka cita.
“Ibu mau putranya di rawat di
ruang cendana atau di ruang yang lain?” kata seorang petugas yang bertanya pada
ibu saat mengantri ruangan untukku dirawat inap, “Bedanya apa Pakm ruang
cendana dengan yang lain?” Tanya ibu pada petugas. Petugas itu menjelaskan jika
dirawat di ruang lain, dokter ahlinya tidak menangani secara langsung, di sana hanya
ditangani dokter umum dan perkembangan pasien akan dilaporkan ke dokter ahli,
tapi jika dirawat di ruang cendana, setiap hari akan dikontrol dokter ahli
langsung. Aku mendengarkan sambil mengamati lalulalang orang yang sedang berobat.
“kalau di ruang cendana memang mahal, tapi harus antri sebab ruangannya penuh
dan salah seorang pasien yang akan keluar hari ini sedang mengurusi
administrasi.” Pukul empat sore aku masuk ruangan cendana, aku lupa nomor
berapa, di ruang itu aku bersebelahan dengan seorang kakek yang selesai di
operasi pantatnya (aku lupa nama penyakitnya).
“Si orang pintar itu memang pintar, tanpa menyentuhku dia bisa tahu apa
penyakitku seperti yang dikatakan dokter ahli kepadaku,” gumamku dalam hati
sambil rebahan di ranjang rumah sakit yang ketiga kalinya dalam sebulan. Apakah
aku masih meragukan kemampuan seseorang yang mempunyai ilmu yang belum
terjangkau nalar setelah mengalami ini?
Malam di rumah sakit solo tidak
jauh berbeda dengan malam di RSUD daerahku, bedanya hanya ada televisi kabel
dan tidak, obatnya pun sama dengan yang siberikan di RSUD daerahku, lagi-lagi
duburku dimasuki obat yang sama dengan obat waktu di RSUD daerahku. “Aku Bisa
jadi gay nih Bu,” kataku pada ibu yang sedang duduk menungguku sambil menonton
televisi. “Hust ngawur.” Jawabnya. Aku pun tertawa sambil melihat mimik muka
ibu yang kaget dengan apa yang kuucapkan.
Sejak menginap di beberapa rumah
sakit, bangunku dari tidur selalu pagi, pukul lima. Seorang dokter yang
memasuki ruanganku berbeda dengan dokter yang memeriksaku kemarin. “kok
berbeda?” Tanyaku dalam hati dan menemukan jawaban setelah tahu dokter itu
memeriksa pasien disebelahku, tidak lama setelah memeriksa pasien disebelahku,
dokter itu memperkenalkan diri kepadaku sebagai dokter ahli bedah, aku terkejut
setelah mendengarnya, apa dia juga akan memeriksaku, “apa aku akan dioperasi?”
tanyaku dalam hati. Dia adalah dokter ahli bedah yang diminta dokter ahli
penyakit dalam untuk memeriksaku, apakah aku harus dioperasi atau tidak. Setelah
dokter ahli bedah menjelaskan caranya memeriksa, enggan rasanya untuk menerima cara yang akan
dia pakai untuk memeriksa yang membuatku tidak nyaman, jika bukan karena ingin
sembuh. Dengan memakai sarung tangan yang terbuat dari karet si dokter ahli
bedah memasukkan jarinya kedalam duburku, terasa sekali jarinya menyentuh
bagian dalam dubur, ia menggerakan jarinya kekanan dan kekiri setelah
dimasukkan melalui duburku, “bangsat, aku bisa jadi gay beneran.” Teriakku dalam
hati. Sambil memasukkan jarinya si dokter bertanya, “sakit gak mas?”. Dengan meringis
aku menjawab. “Sakit Dok, sakit.”
“Sesegera mungkin anak ibu harus
dioperasi setelah menandatangni beberapa persyaratan dan persetujuan,
bagaimana?” tanya dokter kepada ibu, namun ibu melemparkan jawaban kepadaku,
aku menjawabnya dengan biasabiasa saja toh bukan operasi ginjal, “ya terserah
ibu saja, aku akan anak yang mematuhi perintah orang tua.” Jawabku pada ibu
sambil menggumam dalam hati “kadangkadang,”
Ibu setuju jika aku harus
dioperasi, setengah sembilan aku dipersiapkan untuk dioperasi, “Mas, sudah siap
ya, isi perutnya harus dikosongkan, tadi belum makan kan?” tanya seorang
perawat sambil membawa sebuah selang sebesar jari manis yang akan dimasukkan
kedalam tubuh melalui hidung sampai ke lambung, katanya, untuk mengeluarkan
cairan atau isi dalam perut. Aku seperti sedang sakaratulmaut saat selang itu
mulai masuk hidung, aku mengejang sambil mengangkat kakikakiku ke atas, memuntahkan
cairan berwarna kuning melalui mulut, saat itu aku merasa seperti ayam dan
kambing yang baru disembelih. Setelah selesai memasukkan selang itu aku melihat
cairan berwarna kuning mengalir melalui selang sambil melihat wajah ibu yang entah
ketakutan atau menyedihkan melihat apa yang baru saja dilihatnya.
Selang ini menggangguku bernafas
dan tenggorokan saat aku menelan air liur, “ah betapa menyebalkan, untuk
berbicara pun susah.” Gumamku dalam hati saat aku dibawa menuju ruang operasi.
Aku memasuki sebuah ruangan, ada
tujuh orang yang berpakain berwarna hijau muda, mereka semua menutup mulutnya
dengan masker. Aku direbahkan pada sebuah ranjang di atasnya ada semacam lampu
besar sekitar setengah meter diameternya, beberapa orang yang berpakaian hijau
muda itu berlalulalang menyiapkan keperluan operasi, seseorang yang tidak
kulihat wajahnya menanyakan siapa diriku, dan tentangku, “Mas sudah siap?”
tanyanya tibatiba, sambil mengamati seseorang yang sedang memusukkan sebuah
jarum infus di tanganku, aku menjawabnya “Ya, mas, saya siap.” Semuanya menjadi
gelap.
“Di mana aku, kenapa ruangannya
berbeda dengan yang tadi.” tanyaku dalam hati. kuamati sekitar dengan melirik
kanan kiriku hanya ada beberapa tempat tidur dan hanya ada aku, “di mana aku,
apa aku sudah mati?” Aku terus melirik melihat sebuah jam di dinding, Sudah setengah
satu siang. “Jika aku sudah mati kenapa masih ada waktu yang berdetik?” Aku masih
bertanyatanya dalam hati, “apa aku sudah mati? Di mana aku?” Tiba tiba sebuah
pintu di depanku terbuka, seorang laki-laki yang mengenakan jas putih mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar